Ini ruang ekspresi, wahana berbagi...
Ini gejolak yang terjadi dalam diri,
Ini dia tanda eksistensi diri,
Hehe...
Mari menengok Nurhandayani!!!
Ini buku tulisku, ini diary-ku...

Kamis, 03 Juni 2010

Boleh Berbahasa Gaul asal...

Bahasa memiliki sifat yang dinamis. Ia terus berkembang mengikuti zaman, menyesuaikan kebutuhan pengguna bahasa itu sendiri. Maka, lahirlah istilah bahasa prokem dan—yang paling baru—bahasa “alay” alias bahasa “anak lebay”. Keduanya termasuk dalam bahasa slang, yakni bahasa pergaulan yang ngetren di kalangan anak muda.

Jenis bahasa prokem sudah kita kenal sebelumnya, yakni kira-kira pada 1970-an.Teguh Esha dalam novelnya yang berjudul Ali Topan Anak Jalanan pertama kali mengenalkan istilah bahasa prokem ini. Bahasa prokem ini sendiri mulanya untuk menyebut istilah bahasa preman. Beberapa istilah dalam bahasa prokem yang masih dipertahankan hingga saat ini di antaranya “bokap” (bapak), “nyokap” (ibu), “doku” (duit/uang), “doi” (dia), dan “culun” (lugu).

Sementara itu, bahasa “alay” mulai berkembang di masyarakat sejak kemunculan internet dan telepon seluler, yakni mulai tahun 2000-an, ketika anak-anak muda mulai gemar mengobrol (chatting) di dunia maya (internet). Gaya bahasa “alay” misalnya pada penggunakan kata seperti “akuwh”, “akyu”, “aq” (aku); “cowwy”, “sowry” (sorry/maaf), dan sebagainya.

Sebenarnya kehadiran bahasa slang tak pernah menjadi soal bagi bahasa Indonesia. Mengingat sifat bahasa yang dinamis itu tadi, ragam bahasa slang tersebut berterima untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Namun, bahasa slang mulai terasa “mengancam” bahasa Indonesia begitu kehadirannya (bahasa slang) terlalu menarik perhatian masyarakat sehingga membuat mayarakat lebih menyenangi penggunaan bahasa slang ketimbang ragam bahasa Indonesia yang formal (baku).

Ragam bahasa Indonesia yang formal dianggap kaku dan tidak laku. Begitu menurut budayawan Remy Silado. Hal itu yang menyebabkan anak-anak muda tidak begitu menyenangi bahasa Indonesia yang baku. Karena itu pula anak-anak muda—yang menyenangi sesuatu yang dinamis dan inovatif—itu mencari hal-hal baru, salah satunya menggunakan bahasa slang tersebut.

Tak jarang penulis menemukan bahasa Indonesia disepelekan oleh sebagian besar orang. Mahasiswa yang berkuliah di Jurusan Bahasa Indonesia sering mendapat “perlakuan tak menyenangkan” dari sebagian besar orang tersebut lantaran keputusannya (mahasiswa) berkuliah di jurusan itu dinilai tidak tepat. Mereka—sebagian besar orang yang menyepelekan bahasa Indonesia itu—menganggap bahasa Indonesia bukanlah sebuah bidang keilmuan yang perlu ditekuni dengan serius karena bahasa (bahasa Indonesia) itu adalah bahasa yang kita pergunakan sehari-hari. Menurut mereka, kecil kemungkinan kita melakukan kesalahan berbahasa Indonesia karena bahasa itu kita pergunakan sehari-hari.

Penyepelean terhadap ragam bahasa Indonesia yang baku tersebut kemudian menjadi bumerang bagi anak-anak muda sendiri. Kementerian Pendidikan Nasional melansir, sekitar 14 ribu dari 26 ribu siswa yang tak lulus ujian nasional terjanggal di pelajaran bahasa Indonesia. (Koran Tempo, edisi nomor 3177 tahun X). Artinya, lebih dari 50 persen siswa tak lulus ujian nasional gara-gara bahasa Indonesia.

Fenomena ini semestinya menjadi pukulan telak bagi kita semua. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa negara kita, bahasa persatuan kita, malah menjadi ‘batu sandungan’ bagi masyarakatnya sendiri. Ini sebagai bukti bahwa bahasa Indonesia tidak bisa disepelekan begitu saja. Semestinyalah kita menjunjung bahasa persatuan kita. Apabila kita menengok bagaimana perjuangan para pemuda pada 28 Oktober 1928 lalu yang berjuang mati-matian untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda, malu rasanya menyepelekan bahasa Indonesia.

Terkait dengan kehadiran bahasa slang yang disinggung di muka, menurut hemat penulis, penggunaan bahasa slang itu tak menjadi soal sejauh kita tak melupakan ragam bahasa Indonesia yang baku. Jadi, utamanya, kuasai juga ragam baku bahasa Indonesia. Di sinilah pentingnya nasionalisme dalam berbahasa Indonesia. Buat apa pandai bersilat lidah dalam bahasa gaul—demi dibilang “keren”—tapi bahasa Indonesianya kacau?

Masalah bahasa ini adalah masalah ranah. Semua ada tempatnya. Kita tidak bisa menafikan ragam formal (ragam baku) yang ada di lingkungan kita. Tak mungkin kan buku-buku teks yang ditulis dalam bahasa Indonesia disampaikan dengan bahasa gaul. Atau, apa jadinya kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato kenegaraannya dalam bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa prokem misalnya. Nah, lho.