Ini ruang ekspresi, wahana berbagi...
Ini gejolak yang terjadi dalam diri,
Ini dia tanda eksistensi diri,
Hehe...
Mari menengok Nurhandayani!!!
Ini buku tulisku, ini diary-ku...

Senin, 14 Juni 2010

Bagaimana Menulis yang Tidak Emosional?

Aku tidak tahu kalau menulis pun bahkan memerlukan kehati-hatian untuk tak membiarkan emosi seseorang--yang menulis--meluap-luap.
Selama ini aku menulis tanpa pernah memperhatikan hal itu. Aku menulis karena aku ingin menulis dan ingin merasa lebih baik secara psikologis (setelah menulis). Justru aku ingin meluapkan emosiku di situ, di tulisanku itu...

Tapi beberapa malam lalu aku diingatkan bahwa tulisan yang baik itu adalah tulisan yang emosinya terkendali.
Aku jadi teringat seorang wartawan senior di tempatku magang juga pernah menyinggung masalah itu, tentang penulis yang emosional saat menulis...
Saat itu aku hanya pura-pura mengerti dengan penjelasannya, padahal aku buta sama sekali tentang itu, hahaha

Inilah jeleknya aku, kadang-kadang tak mau terlihat bodoh di depan orang lain, tak mau mengakui kekurangan dan keterbatasan ilmu. Padahal, kalau saja aku mau sedikit jujur dan mengakui bahwa aku tidak mengerti akan sesuatu hal itu, mungkin aku akan beruntung mendapat penjelasan dan pemahaman yang banyak tentang yang tak kutahu itu.

Hm, Hasan Aspahani juga bilang begitu, bahwa menulis--dalam hal ini ia membahas puisi--membutuhkan kesabaran, menahan emosi agar puisi yang akan ditulis tak terkesan emosional. Kata dia, penulis perlu 'menjaga jarak' dengan puisinya. Kata-kata yang dituliskan begitu seseorang merasakan sesuatu (emosi) adalah kata-kata yang kasar. Ia (kata-kata itu) memang spontan, namun ia begitu emosional pula...
Maka dibutuhkan 'jarak' antara penyair dan puisinya agar diksi puisi si penyair tidak mengandung emosi. Menurutnya, puisi yang ditulis setelah peristiwa--yang 'menyulut' lahirnya puisi itu--berlalu, diksinya akan lebih terkendali, lebih indah gitu...
Benar begitu, Pak Hasan?

Tapi aku masih saja belum mengerti dengan penjelasannya, juga dengan penjelasan kawanku malam itu dan wartawan senior itu.

Nah, aku jadi bingung. Kadang aku berpikir, semakin baik penulis membikin pembacanya mampu merasai emosinya (emosi si penulis) melalui tulisannya, maka semakin ia bisa dikatakan sebagai penulis yang sukses. Ya, sukses mempermainkan emosi pembacanya maksudku...

Hm, yang benar bagaimana ya, kawan?
Seperti apa menulis yang tidak emosional itu?
Aku tidak tahu bagaimana membedakan tulisan yang emosional dan yang tidak emosional.
Bagaimana? Ada yang bisa membantuku kawan-kawan?