Ini ruang ekspresi, wahana berbagi...
Ini gejolak yang terjadi dalam diri,
Ini dia tanda eksistensi diri,
Hehe...
Mari menengok Nurhandayani!!!
Ini buku tulisku, ini diary-ku...

Sabtu, 27 November 2010

Violin Merah Senja

matahari cukup mengerti untuk tak menampakkan diri pagi ini

di hari ketika jemarinya menari-nari di sepanjang leher violin merah senjaku:
menunduk kalbu karenanya,
melupa pula omong kosong tentang pertemanan itu

ini gemuruh tak mau mereda,
oleh sebab geletar udara
gaung derunya menggema jua

Jumat, 26 November 2010

Kau dan Gadismu

pagi hendak datang saat gadismu sesegukan di kamar
sarung bantal dan selimutnya basah
bekas dipakai menyeka wajahnya yang tak pernah kering dari air mata:
di malam yang telat, di pagi yang terlambat

di gerimis yang begitu tiba-tiba,
gemuruh guntur seakan lebih cepat dari kilat:
menggelegar...
mengejutkan kau dan gadismu yang masih asyik di ayunan
—kau dan gadismu yang masih di buaian

di putaran angin yang membingungkan
kau dan gadismu terhenyak dalam takdir:
engkau terlempar ke samudra, gadismu ke hutan belantara
Tak ubahnya adam dan hawa yang terbuang dari syurga:
tercerai sejauh antara timur dan barat
—terberai dalam arah yang sesat

Gadismu hanya berdiam dengan segelas kopi tergenggam,
mengecap pahit yang dipilihnya,
sesak sendiri meski niat menutup pintu itu terasa kuat
Maka antara khauf dan raja’, lamat-lamat doa terpanjat:
“semoga kau masih di sana... semoga kau selalu di sana... di balik pintu itu...”

Selasa, 23 November 2010

Tanah

Tanah ini dulu sekali pernah kukenal
Ia ditinggalkan,
hanya sesekali pipit melompat-lompat lincah di hamparannya yang gersang,
mematuki biji-bijian atau sekadar bergurau dengan serangga yang beringsut-ingsut di atas bebatuan

lantas di suatu waktu
berkawan sehelai daun—yang telah datang masanya berkalang tanah,
kudengar keduanya bergurau dalam bisik yang paling samar
daun yang hampir busuk itu berkisah tentang hidup yang cuma sebentar di atas sana

pipit terbang meninggalkannya
daun membusuk jua

ia sendirian
lagi:
diliputi sepi yang berdentam-dentam,
dinaungi dingin yang menusuk tulang

pada jalan yang mulai terasa semakin sepi
ketika kaki melunglai di penghabisan bekal
aku menemukannya kembali: tanahku
masih dengan kekeringannya
—kehampaannya
kesendiriannya
kesepiannya—
menatap rindu padang bulan

nasib mengantarku memijaknya lagi
ini kali tak’kan kubiarkannya sendiri

“Tak perlu alasan mengapa kumemilih ‘tuk tinggal di bumimu:
Tanahku, tempat segalaku—kenangan itu—
bermula.”

Selasa, 09 November 2010

Jati

ini jati yang masih muda,
tumbuh kemarin di antara gersang dan kering menyapa

akar-akarnya menjangkau-jangkau genangan air hingga ke bibir jurang
padang garang...

suatu waktu ketika hanya ada terik di buaian masa
menanggal daun demi bertahan lebih lama,
begitu percaya ada masa di mana hujan mengembalikannya,
hijaunya...

ini jati yang tak kan ke mana...
bertahun lama, mengeras batangnya
menguat akarnya

Selasa, 26 Oktober 2010

Layang-Layang

Dul,
aku layang-layangmu yang nyaris koyak dihentak angin

betapa...
dibubungkannya aku sejauh benang merentang,
namun dikacaukannya aku di ketinggian

angin...
karenamu layang-layangnya mencium awan
meliuk-liuk di kegamangan
--tapi dia juga tak bisa sembunyikan desiran ketika di awangan
dan penyesalan telah terlampau jauh dari pegangan


Dul,
jalinkan layang-layangmu dengan tali terkuat
ikatkan layang-layangmu dengan simpul tererat,
agar tak goyah ia ketika angin menyambarnya cepat
--atau ketika layang-layang lain datang untuk beradu hebat

Dul,
tahukah?
sedikit anak yang mau berlari
demi merebut kembali layang-layangnya yang lepas tali

Minggu, 17 Oktober 2010

Mawar di Atas Bantal

Siang baru saja meninggalkan kita yang terpanggang hari
--bukan sebab terik yang tak jua berbalas hujan,
geloralah yang memberangus kita
saat mawar jatuh di atas bantalmu
yang lalu dengan lembut kaujumput ia
kau rasakan indah kuncupnya yang segera mekar di genggamanmu...

Jumat, 17 September 2010

Daun di Depan Pintu

Kamis, 16 September 2010


Ada angin berputar di depan pintu rumahmu
yang karenanya sehelai daun tertolak saat hendak menelusup untuk berumah di hatimu.
dan tak pula ia hendak melayang ke taman tetangga
karena angin--dalam putaran itu--memerangkapnya.
di depan pintu rumahmu tertawan ia

Duhai...
mengapa kausila ia kecapi sejuk dan damai isi rumahmu
yang kadang temukanmu di kursi kayu memetik syair rindu.
lantas di lain waktu tersipu ia pada sepasang mata terpejammu yang isyaratkan tak sudi diganggu
--karena lagi asyik meramu imajinasi dalam dawai-dawai bernada sendu

Duhai...
mengapa membiarkannya terus di depan pintu
berpusing menunggu saat berumah di hatimu
--tanpa kauizinkannya sejenak hinggap di ukiran Semar atau sekadar tergolek di ranjang rendahmu

jumputlah ia
beri ia arti yang cuma sehelai daun

Kau selalu bicara akan pergi.
banyak rumah saudara dan kawan lama yang ingin kausinggahi kilahmu,
sehingga kautolak semua tamu

Lantas kaukirim putaran angin untuk berjaga di depan pintu
maka daun itu tak juga bisa menyusup ke dalam rumahmu
(tak juga debu, kelopak bunga, atau selembar koran milik pria di bangku taman--yang lagi asyik membaca--yang melesat diembus bayu)

rumahmu selalu sepi
hanya kau dan sitarmu
juga gambar-gambar seribu wajah...
wajah-wajah yang pernah singgah-berlalu-dan yang selalu kau tunggu

rumahmu selalu sepi
sebab tak sesiapa pun kaubolehkan menghuni

Selasa, 13 Juli 2010

Pasti Nanti Kau...

Aku ingin kau juga merasakannya.
mungkin tidak sekarang, mungkin tidak saat denganku.

nanti kau akan mengerti bahwa itu indah sekaligus menyakitkan.
indah, karena kau mengerti bahwa ada kehidupan di dalamnya. bahwa ia ciri kehidupan yang layak dilalui. (entah, kehidupan macam apa yang dijalani tanpanya)
menyakitkan, karena kau harus merasakannya, menderita sampai ingin membuang dirimu sendiri ke dunia antah berantah

kau lantas mengerti bahwa lakumu untuk membuatku merasakannya
--untuk mengetahui bahwa aku cinta--
adalah kebodohan yang tak perlu.
sebab karenanya
kita mati berdua

mungkin tidak sekarang, mungkin juga saat tidak denganku
kuyakin kau nanti akan merasakannya: cemburu

Kamis, 08 Juli 2010

Bukan Edelweis

Belum juga kumulai merangkai dedaunan kering dan bunga edelweis
untuk kujadikan pigura etnis
buat gambar kita berdua berdiam di sana,
kaubakar dedaun kering yang kaucari jauh-jauh hingga desa tetangga,
kauhambur sekeranjang edelweis yang untuknya rela kaudaki pegunungan antah-berantah...

entah apa sebab,
kau menjadi gila,
pun aku menggila

kutabur biji-biji yang semula untuk mempercantik pigura kita
kuterbang bulu-bulu yang mulanya untuk mempermanis
--hiasan pigura etnis

bunga, daun, biji, dan bulu terserak tak keruan
pigura kita tak jadi
kita kerasukan
kita sesegukan

menumbuk bola mata pada sesuatu yang kusebut bunga
--yang kaubawa jauh-jauh dari hutan desa tetangga
yang deminya kaudaki pegunungan antah-berantah,
"Sayang, itu bukan edelweis.
Bukan itu bunga yang kumaksud..."

belum sempat aku berkata begitu,
engkau membanting pintu.

Senin, 05 Juli 2010

Aku Ingin Menceritakan Padamu...

Aku ingin menceritakan padamu tentang ringis gerimis, yang diam-diam dalam tangis meniup badai tipis.
aku ingin menceritakan padamu tentang lelah ombak yang berlarian dan berkejaran ke tepian tanpa kesudahan.
aku ingin menceritakan padamu tentang duka cemara yang melambai kacau saat angin mencampaknya hingga terkulai, kusut masai...
aku ingin menceritakan padamu tentang risau layang-layang yang terbang gamang demi dapat mencium awan...

aku ingin menceritakan padamu bahwa akulah gerimis
akulah ombak
akulah cemara
akulah layang-layang
namun derumu, desingmu pada rotasi memusingkan itu membuatku tergagu

maka pada sepahit kopi aku berkawan. memburu makna dalam sepi. memendam seluruh rahasia luka diri.
sesekali, dari senyummu damai kucuri

Minggu, 04 Juli 2010

Hanya Mau Merasai

:Wicaksono

aku ingin berhenti bertanya kali ini. hanya mau merasai...
karena selagi aku merecoki diri pada teka-teki--pada rindu yang selalu ingin kucari di dada ringkihmu, aku akan melewati wangi aromamu

Sabtu, 03 Juli 2010

Kecemasan di Balik Kain Pengharapan

:Wicaksono

Kecemasan ini lahir ketika ketakutan itu mewujud kembali
saat cahaya telah jauh meninggalkan,
saat derik jangkrik tak jua mampu melarutkanku dalam malam tergenang...

pergulatan dengannya telah teramat menyusahkan.
namun entah, semakin kuabai, semakin sakit tak terberai.
"Bila kutitipkan kain pengharapan padanya, adakah mungkin ia tak kembali
oleh sebab kembaranya yang tak pernah usai?"

ingin kukemas cemas yang membuat dada seakan teremas
lalu pada samudra 'kan kutinggalkan ia

pelan aku beristirja

Jumat, 02 Juli 2010

Berbagi Loli

:Wicaksono

desaunya mengabari ada negeri yang kaubahagiakan dengan beritamu. kau pun seperti kanak-kanak yang tak kuasa menahan suka, senantiasa tergelak dengan lolipop yang kaujilati.

aku memandangimu dengan khauf dan raja'. mencemasi negeri yang mungkin kulukai dengan dingin angin yang kukirim.
"Sungguh, tak sampai hati kulengkung sabit di wajahmu."

maka antara hasrat ingin mengempas duri
dan hasrat ingin terbenam di hamparanmu yang menyimpan denyut rindu
kita berbagi loli...
bersama kita menjilati...

diam-diam aku juga menyembunyikan secangkir kopi
yang nanti juga ingin kubagi

Hujan

jangan mengutuk hujan.
mengapa mesti merutukinya,
padahal hanya itu yang bisa dilakukannya: jatuh sebagai berkah.

Kamis, 01 Juli 2010

Lagu Lama dengan Aransemen Baru

:Wicaksono

aku bukan biduanita itu. tak bisa kaupaksa aku bersenandung seindahnya. maka biar aku berlagu dengan caraku sendiri, bernyanyi dengan karakterku suaraku sendiri...

lagu boleh sama, tapi kita akan memainkannya dengan cara berbeda, dengan aransemen baru, yang lebih segar, penuh warna yang terbiar...

coba naikkan setengah nada. satu oktaf boleh juga. mainkan lagu itu pada kunci G atau C--ah, kau jauh lebih mengenalku. tahu di kunci apa aku biasa bermain--
kau akan lihat kepiawaianku berimprovisasi

mari kita mainkan lagi lagu lama itu
kali ini dengan aransemen yang baru

Selasa, 29 Juni 2010

Jangan Marah Lagi, Sayangku

Sudah, jangan marah lagi padaku
tak perlu berlalu dan membanting pintu
tak perlu bibir seksimu mengerucut seperti itu
tambah tak manis rupamu ketika kaulipat wajahmu.

Sudah, jangan marah lagi ya, sayangku...
mau sampai kapan kaudiamkan aku?
sampai-sampai kau tak sudi lagi kucium dan kupeluk dengan rindu.

Haruskah kau sebegitu marahnya hingga tak mau lagi kugelitiki atau kusentuh sedikit saja? Mengapa mesti membuang muka tiap kita bersua?

Aku tahu kau sangat menyukainya,
menikmatinya berlama-lama hingga terlupa segala yang lebih indah di luar sana,
mencumbuinya, terlena...
Ah, sayangku, bila kauturutinya, tersia saja sesuatu yang jauh lebih menyenangkan—yang menantimu—di luar sana...

Aku tahu kau menikmati saat-saat jantungmu berpacu dalam deru dan seru adegan-adegan yang menguji nyali itu,
aku tahu kau menikmati saat-saat menertawakan orang lain yang terluka atau ‘terbodohi’ dalam cerita itu,
aku bisa melihat kau dan kawan-kawanmu ikut menikmati babak-babak manisnya balas dendam dalam kisah itu...

Sayangku, aku tak menyukainya.
Kali ini aku tak menyukai apa yang kausukai itu.
Aku tak peduli meski kaubilang ia seru
aku tak mau dengar alasanmu walau kau berkeras yakinkan aku bahwa ia tak buruk-buruk amat buatmu
aku tak menerima kau memilihnya dan mementahkan kata-kataku
aku marah kalau kulihat kau berasyik-masyuk dengannya
aku cemburu bila kau nafikan aku hanya demi hasratmu yang ingin bersamanya meski cuma satu-dua jam...
Terlebih, sesuatu yang kucemburui adalah dia yang tak baik untuk kaunikmati...

Maaf, kukacaukan acara nonton barengmu bersama kawan-kawanmu siang tadi.
Aku tak suka film yang kau pilih untuk kau nikmati bersama kawan-kawanmu.
Masa bodoh dengan seram, seru, perang-perangan, tembak-tembakan, berantem-beranteman, kerennya pria bertato dalam film itu, atau perempuan-perempuan seusiaku yang terlihat asyik-asyik saja mengenakan rok ketat di atas lutut dan baju atasan dengan bahu terbuka di tengah keramaian...

Tidak, sayangku...
Aku tak mau dia—film-film yang kau suka itu—meracunimu, membentukmu menjadi “monster kecil” yang senang berantem-beranteman dengan kawan-kawanmu seusai menyaksikan film-film itu.
Lihatlah, di usiamu kini kau bahkan sudah mengenal kata “seksi”!
Kau juga mulai ketakutan bila pergi tidur sendirian.
Kemarin-kemarin aku sempat melihatmu ‘bergulat’ dengan anak tetangga sebelah rumah hingga salah satu dari kalian menangis...

Aku tahu kau marah sekali padaku karena bukan kali ini saja kumatikan televisi begitu tiba-tiba di tengah-tengah keasyikanmu menyaksikan film berantem-beranteman atau film setan-setanan itu.

Sudah ya sayangku, jangan marah lagi padaku...
Daripada kaubunuh waktumu dengannya (film-film itu), pergilah bermain dengan kawan-kawanmu di luar sana. Permainan di luar sana jauh lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan.
Sungguh, mainan di luar sana jauh lebih menyenangkan daripada PlayStation yang mereka katakan asyik dan seru itu.

Kau bisa bermain bola, mobil-mobilan, kelereng, gobak sodor, petak umpet, main benteng, patok lele, atau mainan apa pun yang biasa kau mainkan bersama mereka...
bermain perang lumpur juga boleh
bermain dengan hujan pun boleh
mencari ikan citul atau ikan gepi di selokan pun kubolehkan meski ibumu akan memarahimu habis-habisan sesudahnya.
Jantungmu akan berpacu ketika kau berlari, ketika kau berkejaran bersama kawan-kawan sebayamu. Kau akan punya banyak kawan, merasakan indahnya dan serunya perkawanan, persahabatan, dan permainan itu sendiri...
Aku tak ‘kan kesal bila kau pulang dengan lutut berdarah atau kaki terluka...
Tenang saja. Aku bersedia 'kongkalikong' denganmu agar kau tak dimarahi ibu untuk ‘kesalahanmu’ yang satu itu.

Sayangku, aku tak ’kan melarangmu bila kau ingin bermain lompat tali, bermain congklak, bermain bola bekel, atau bermain masak-masakan dengan anak perempuan tetangga sebelah rumah kita itu...
Tak apa. Main saja. Memangnya kenapa kalau kau ingin bermain dengan anak perempuan? Kau kan bisa berperan sebagai pedagang yang berpura-pura menjual sayuran. Atau, kalau kau ingin main boneka-bonekaan dengan mereka (anak-anak perempuan itu), kau bisa berperan sebagi penjual bonekanya. Terserah kau saja, bermain saja sesukamu.

Dan kalau aku tak salah ingat, kau masih menyimpan wayang bergambar tokoh-tokoh kartun itu kan? Itu lho, wayang-wayangan yang gambarnya macam-macam. Kau membelinya dari pedagang mainan yang menjajakan jualannya di sekolahmu. wayang-wayangan itu ada yang bergambar Naruto, Dragon Ball, Avatar Aang, Ipin dan Upin, Spongebob Squarepants, macam-macamlah...
Aku tak pernah membuang mainan wayang-wayangan kepunyaanmu itu kalau kebetulan kutemukan terserak di lantai saat aku sedang menyapu (Kau selalu sembarangan meletakkan mainan-mainanmu). Nah, bermainlah dengan wayang-wayangan itu...

Sudah ya sayangku, jangan cemberut begitu.
Tak perlu berlalu dan membanting pintu,
tak perlu mengerucut bibir seksimu,
tak perlu kaudiamkan aku hingga tak mau lagi kupanggil ‘sayang’...

Baiklah, kalau kau memang suka menonton, besok kucarikan film yang bagus untukmu.
Hm, kau suka Spongebob Squarepants kan? Atau, bagaimana menurutmu kalau Ipin dan Upin? Oya, kau juga suka film Khrisna itu kan?

Nanti kalau sudah kubelikan filmnya, kau aturlah waktumu kapan saatnya bermain, belajar, dan menonton. Kalau kau tak bisa atur waktumu sendiri, jangan salahkan aku kalau kusela keasyikanmu—menonton film—lagi.
Pun aku tak ‘kan segan mematikan televisi—karena kau terlalu asyik menonton—bila tak kau acuhkan kawan yang ke rumah untuk mengajakmu ke surau...

Sayangku, jangan kau berpikir aku mencerewetimu karena aku tak sayang padamu. Kau tahu kan, aku tersangat menyayangimu,
adikku tersayang...

(28 Juni 2010, pukul 13-an)

Pintu Itu Lagi

Selimut kabut jatuh di hatinya yang ragu-ragu. membayang segala yang tertangkap kalbu. semakin memburam labirin yang disusurinya.

kawannya hanya tarian lidah api yang disulap dari ketiadaan yang pelan mengendap. ia merasai nyalanya yang mengerjap-ngerjap, mengerlip seakan padam bersiap. "Jangan, jangan meninggalkanku dalam gelap..."

meski begitu ia tetap meraba dalam harap dan cemas--dalam gelap mendekap. terus mendaki sampai membentang di mukanya dua jalan setapak menuju pintu-pintu yang menunggu. akhirnyakah(?): putusnya pada jalan yang dikenalnya, yang pernah dilaluinya. masih: dengan cemas dan harap.

Sabtu, 26 Juni 2010

Tak Apa, Nanti Kering Sendiri

Sehelai seprai mengurai
ditarik dari ranjang usang
demi menyeka matanya yang menelaga

sebab persinggungan semalam,
tersia-sia rida yang susah payah dipeliharanya
menderas lagi darahnya

lalu siang datang:
mengemas gemas gadis tujuh tahunan dengan daunan di genggaman,
rusa-rusa dalam kurungan,
dan kelakar kawan dari bingkai lama yang hampir dibuang.
terbit sukanya...
terlupa pada seprai semalam
yang belum kering dari air matanya,
dengarlah katanya: "Tak apa, nanti juga kering sendiri."

Jumat, 25 Juni 2010

Keridaan

Deralah, sakiti...
bentuk semaumu seperti pandai besi:
tempa, bakar,
tenggelamkan pada bara hingga melunak
agar menajam pada mata
agar bermakna sesudahnya

karena aku tak ingin sekadar jadi besi
...
adalah berakhir dalam pelukan keridaan
tujuan luka itu

Kamis, 24 Juni 2010

Diamlah dan Nikmati

Keresak daun terinjak
keretak dahan terpatah
tak pernah tergesa dan memaksa
ceritakan luka.
cukup keresak dan keretak.

mengapa mesti tertatih
sibuk sendiri, menyesal, mengesal pada luka sendiri
"Diamlah dan nikmati.
barangkali kautemu makna di belakang nanti."

Senin, 21 Juni 2010

Bila Kata Mau Berkata-Kata

seperti ikan menari lincah dalam liuknya yang tak terbatas
dan elang menukik tajam adang angin dan halau awan
seperti resek celoteh anak ayam meski sang induk di sisinya selalu...

meliuk, menukik, berceloteh...
dalam bebas, lepas
takterbatas, takterkekang, takterbendung

seperti juga kau dan dia
lihatlah bagaimana kau dan dia menari, menangis, tertawa, berpelukan
dalam kata yang tiada habisnya

mengapa aku tidak?
mengapa kauminta aku diam sementara aku begitu suka
--dan sering merasa lebih baik sesudahnya--
berkata-kata dalam kata yang tak terkatakan
seperti kanak-kanak yang baru nemu kata

barangkali kau sungguhan melihatku seperti sesosok kanak-kanak
yang tak tahu kapan kata tak harus dikatakan
kapan kata tak bisa dibuang sembarangan
ditaruh sesukaku
diletakkan semauku
dirangkai seindah kumau rangkai dia

jangan bungkam kata demi alasan apa pun...
mengapa tak lepaskan--bebaskan--saja dia
kata dan segala yang mau dikatakannya

jangan ancam kata yang mau berkata-kata
nanti tak mau lagi dia berkata-kata...

Senin, 14 Juni 2010

Bagaimana Menulis yang Tidak Emosional?

Aku tidak tahu kalau menulis pun bahkan memerlukan kehati-hatian untuk tak membiarkan emosi seseorang--yang menulis--meluap-luap.
Selama ini aku menulis tanpa pernah memperhatikan hal itu. Aku menulis karena aku ingin menulis dan ingin merasa lebih baik secara psikologis (setelah menulis). Justru aku ingin meluapkan emosiku di situ, di tulisanku itu...

Tapi beberapa malam lalu aku diingatkan bahwa tulisan yang baik itu adalah tulisan yang emosinya terkendali.
Aku jadi teringat seorang wartawan senior di tempatku magang juga pernah menyinggung masalah itu, tentang penulis yang emosional saat menulis...
Saat itu aku hanya pura-pura mengerti dengan penjelasannya, padahal aku buta sama sekali tentang itu, hahaha

Inilah jeleknya aku, kadang-kadang tak mau terlihat bodoh di depan orang lain, tak mau mengakui kekurangan dan keterbatasan ilmu. Padahal, kalau saja aku mau sedikit jujur dan mengakui bahwa aku tidak mengerti akan sesuatu hal itu, mungkin aku akan beruntung mendapat penjelasan dan pemahaman yang banyak tentang yang tak kutahu itu.

Hm, Hasan Aspahani juga bilang begitu, bahwa menulis--dalam hal ini ia membahas puisi--membutuhkan kesabaran, menahan emosi agar puisi yang akan ditulis tak terkesan emosional. Kata dia, penulis perlu 'menjaga jarak' dengan puisinya. Kata-kata yang dituliskan begitu seseorang merasakan sesuatu (emosi) adalah kata-kata yang kasar. Ia (kata-kata itu) memang spontan, namun ia begitu emosional pula...
Maka dibutuhkan 'jarak' antara penyair dan puisinya agar diksi puisi si penyair tidak mengandung emosi. Menurutnya, puisi yang ditulis setelah peristiwa--yang 'menyulut' lahirnya puisi itu--berlalu, diksinya akan lebih terkendali, lebih indah gitu...
Benar begitu, Pak Hasan?

Tapi aku masih saja belum mengerti dengan penjelasannya, juga dengan penjelasan kawanku malam itu dan wartawan senior itu.

Nah, aku jadi bingung. Kadang aku berpikir, semakin baik penulis membikin pembacanya mampu merasai emosinya (emosi si penulis) melalui tulisannya, maka semakin ia bisa dikatakan sebagai penulis yang sukses. Ya, sukses mempermainkan emosi pembacanya maksudku...

Hm, yang benar bagaimana ya, kawan?
Seperti apa menulis yang tidak emosional itu?
Aku tidak tahu bagaimana membedakan tulisan yang emosional dan yang tidak emosional.
Bagaimana? Ada yang bisa membantuku kawan-kawan?

Sabtu, 12 Juni 2010

Milad, Shah Rukh Khan, dan Muhasabah

Hm, jatah hidupku berkurang satu tahun lagi hari ini…
Ucapan selamat ulang tahun dan kado pertama –dan satu-satunya kukira, hahahaha—datang dari adik perempuanku. Dia menghadiahiku DVD film India berjudul My Name is Khan yang dibintangi Shahrukh Khan dan Kajol, aktor dan artis asal India favoritku, hehehe...

Memang bukan DVD orisinal yang dihadiahinya. Tapi aku senang karena dia ingat untuk saling memberi dengan sesama saudara, juga senang karena kutahu dia menyayangiku—meski kami sering bertengkar meributkan giliran membereskan rumah untuk membantu ibu (padahal kami sama saja malasnya, hahaha)...
Aku menghargainya pula karena kutahu ia hanya seorang pelajar yang jarang punya uang saku lebih—ditambah ia seorang yang boros—sehingga tak memungkinkannya untuk membeli kado yang “mahal” atau lebih bagus dari DVD itu.

Tak apa, tak masalah. Terima kasih, adikku...

Tak ada ucapan selamat ulang tahun maupun acara tiup lilin dari kerabat dekat (tentunya selain adikku).
Apakah itu membuatku sedih?
Tidak.
Lagipula, siapa yang suka diselamati atas “peringatan berkurangnya jatah hidup di dunia”?
Pun aku takut terlena dengan kebahagiaan karena kawan-kawan yang mengucapkan “selamat” tersebut lantas aku kehilangan sesuatu yang lebih penting dari semua itu: muhasabah (instropeksi diri).
Bukankah itu yang selama ini—yang kebanyakan—terjadi pada orang-orang yang berulang tahun?
Mereka (yang berulang tahun) tenggelam dalam kebahagiaan dengan pesta ini-itu dan melupakan sesuatu yang lebih penting dari itu, yang kukatakan tadi: muhasabah.

Apa saja yang sudah kulakukan selama 24 tahun terakhir ini??
Apakah sudah benar hidup yang kujalani selama 24 tahun ini?

Semestinya, dengan bertambahnya usia, bertambah pula kematangan, kedewasaan, ilmu…
Tapi sayangnya usia tak berbanding lurus dengan semua itu (kematangan, kedewasaan, ilmu). Menurutku ketiganya bukanlah suatu keniscahayaan yang diberikan Tuhan dengan serta merta sebagai suatu kesatuan paket dengan usia tadi…
Ilmu itu sesuatu yang didapat karena diusahakan. Lantas dengan berbekal ilmu itu seseorang mengembangkan dirinya, berproses…
Kematangan dan kedewasaan pun tumbuh selama manusia belajar—benar-benar belajar.

Aku sudah belajar apa saja ya selama setahun terakhir ini?
Sudahkah bertambah ilmu, kematangan, dan kedewasaanku?

Pikiranku melayang pada apa yang baru terjadi padaku baru-baru ini, tentang kegagalanku membangun sebuah hubungan dengan seseorang…
Mungkin bagi sebagian orang hal itu terasa tak penting dan menganggapnya terlalu berlebihan bila masalah itu dipikirkan terlalu dalam. Tapi buatku itu penting. Aku memikirkannya dan aku belajar darinya.

Aku punya banyak “pekerjaan rumah” kalau begitu.
Mengalahkan kemalasan, ketakutan, dan kecemasan sendiri beberapa di antaranya.

Semoga semakin pandai aku mensyukuri nikmat-Nya,
semoga Dia memberi kemudahan bagiku dalam mencari ilmu (belajar),
semoga hati ini diikhlaskan untuk menerima segala karunia-Nya—yang kutahu itu--yang terbaik untukku...
Amin

Aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku, impian-impianku, yang pernah kubuat dalam sebuah daftar, daftar mimpi...

Jumat, 11 Juni 2010

“Diary” Kumal, Mimpi, dan Negeri India...

Aku membuka-buka lagi “buku diary” lamaku yang sudah luar biasa kumal dan berdebu.
Sebenarnya ia tak layak dikatakan buku diary karena “diary” lamaku itu hanya sekumpulan kertas bekas fotokopi makalah kuliahku—kira-kira setahun lalu—yang kumanfaatkan sisi belakangnya (kertas) yang masih kosong sehingga bisa kutulisi. Kumpulan kertas fotokopi makalah itu kujadikan satu, lalu kujepit dengan penjepit kertas. Maka jadilah ia “diary” yang siap kutulisi dengan apa pun, kapan pun, di manapun, sesering kumau...
Kadang-kadang aku bisa menulisi “diary” itu hingga lebih dari tiga kali dalam sehari. Tak heran, diaryku cepat habis, hehehehe

Abis? makanan kaleee...


Tau gak cay, pas gw liat-liat lagi fotokopian itu, rupanya itu bahan (materi) kuliah gw dulu. Busyet, ini materi kuliah udah jadi coret-coretan begini...
Isi materinya aja gw udah lupa. Hahay!

Gila ente, Nuy! Kreatif juga ente: mendaur ulang makalah buat bikin diary.
Kreatif tapi bego! Itu kan bahan kuliah. Kenapa gak cari kertas yang laen aja sih?


Yah, maklumlah. Jangankan untuk membeli diary, untuk membeli buku kuliah saja aku mesti pikir-pikir dulu saat itu. Bukan karena tak mau keluarkan uang alias pelit, tapi karena aku memang tak ada uang. Dan keadaan tak memegang uang lebih—untuk membeli buku kuliah—waktu itu terlampau sering. Hahahaaha…

Ehem, kubaca-baca diary-ku lembar demi lembar. Hohoho, rupanya saat itu aku sedang tertarik dengan lawan jenis dan aku tak berani mengungkapkan rasa ketertarikanku itu padanya. Maka aku tersiksa sendiri. Dan demi mengurangi perasaan tertekan karena menahan perasaan sendiri, kulampiaskan rasa sukaku pada cowok itu dengan mengadu pada “diary” dan menulis puisi...

Aku senyum-senyum sendiri membaca “diary” itu.
Walah, perasaanku dulu begitu meledak-ledak rupanya. Agak menjijikan juga membaca diary sendiri. Betapa tidak, aku berpikir—saat membaca “diary”-ku—berlebihan sekali apa yang kutuliskan di sana saat itu.

Hahaha, gw cuma ketawa aja ngebaca tulisan gw sendiri. Sumpah dah, lebay abizzzz
Gila, cay. Bisa juga gw melahirkan diksi-diksi puitis nan romantis kayak begono, qeqeqeqeqeq


Puisi-puisiku bertebaran hampir di setiap halaman.
Wah, rupanya lumayan produktif juga aku saat itu. Ternyata momen seperti itu—saat tumbuh rasa ketertarikan dengan lawan jenis—membuatku produktif dalam menulis.

Tapi bukan itu—tentang bagaimana aku tertarik pada seseorang—yang mau kuceritakan di sini. ‘Fase itu’ sudah terlewat seiring berjalannya waktu.
Di antara cerita-ceritaku tentang perasaanku terhadap someone itu, ada cerita yang berbeda sendiri di diary “edisi fotokopian”-ku itu. Kukatakan (ia) lain sendiri karena aku tak bicara tentang seseorang—yang sedang kusuka saat itu—di diary-ku tersebut.

Ada beberapa mimpi yang sempat kuabadikan di sana...
mimpi yang agak konyol bagi sebagian orang, namun tidak demikian bagiku.
Aku menuliskan mimpi ini ketika aku baru menyelesaikan (membaca) novel Taj Mahal karya John Shors.
Mimpi itu kutulis tahun lalu, tepatnya pada 11 Januari 2009...

(11 Januari 2009 pukul 12.58...)
Aku ingin jadi seorang penulis. Aku yakin suatu saat nanti aku akan jadi seorang penulis. Aku akan jadi penulis yang terkenal. Aku akan sehebat—bahkan lebih hebat—dari Hernowo, Gede Prama, Andrea Hirata, J.K. Rowling, siapa pun penulis itu...

Suatu saat nanti aku akan terbang ke India.
Suatu saat nanti kakiku akan menjejak Benteng Merah.
Suatu waktu nanti tanganku a kan meraba dinding pualam Taj Mahal dengan takjub.
Aku berlayar di atas sampan kecil di atas sungai Yamuna.

Aku tak berhenti bersyukur, terus mengagumi ciptaan-Nya dan terharu berkali-kali karena Ia menjelma nyatakan mimpi-mimpiku.

Aku tak hanya mengunjungi Benteng Merah, Taj Mahal, dan Sungai Yamuna, tetapi aku juga akan mengunjungi seluruh tanah India yang ditumbuhi binga-bunga cantik...
pegunungan hijau...
danau yang biru...

Aku akan mempelajari seni tari dan nyanyi…
Aku mengenakan sari...
Aku merayakan hari Holly...
Menyanyi, menari…
Menyaksikan pernikahan adat India…
Bertemu seorang muslim di sana…
Kekasihku!

Hahaha, lihatlah betapa gilanya aku waktu itu. Aku begitu terobsesi pada negara India. Aku suka sekali dengan tempat-tempat indah di sana—yang sering kulihat di televisi—serta kesenian tari dan nyayinya.
Aku suka bagaimana penduduk di sana mengungkapkan kebahagiaan mereka atau merayakan sesuatu dengan menyanyi dan menari. Ditambah John Shors yang begitu apik mendeskripsikan negara itu dalam novelnya, aku tambah tergila-gila pada India. Namun, sekali lagi, hanya pada sisi-sisi tertentu saja aku menyukainya, seperti yang kusebutkan tadi: tempat-tempatnya yang indah serta kesenian tari dan nyayinya.

Kemudian, beberapa bulan lalu, tepatnya pada 31 Januari 2010, aku dan kawan-kawan jurusan di kampus mengadakan studi banding ke Bali. Kami mengunjungi pertunjukan kesenian Barong di Desa Batu Bulan. Di antara penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut , ada sepasang turis yang kuduga berasal dari India.

Aku jelas sangat mengenali ciri-ciri yang begitu khas dari keduanya, yang semakin meyakinkanku bahwa mereka berasal dari India. Kulit gelap mereka, lantas sang wanita yang mengenakan semacam tanda di keningnya (sindhur) yang mencirikan bahwa ia wanita India...

Baru kali ini kulihat wujud warga India senyata-nyatanya! Selama ini kan aku baru melihat mereka di televisi.
Aku senang, ya gemes juga, geregetan pula. Ah, begitulah pokoknya, sulit diungkapkan dengan kata.

Lantas kuminta seorang kawan untuk mengambil gambarku dan kedua turis asal India itu. Maka dengan malu, ragu-ragu, dan bahasa Inggris yang kacau aku meminta kesediaan mereka untuk berfoto denganku.

Ceklik!
Jepretan kamera digital kawanku mengambil gambar kami dua kali.

Iiiiiiiiiih, senengnya aku kala itu…
hehehehe

Aku terus mengenang saat-saat menggembirakan waktu itu hingga kini.
Ah, mimpi yang kutulis pada diary-ku setahun lalu terasa begitu dekat denganku. Rasa-rasanya India itu begitu dekat. Mimpi itu semakin menguat dan aku semakin ingin mewujudkannya…

Aku memang sangat ingin menjadi penulis dan begitu ingin ke India. Yang tertulis dalam “diary”-ku saat itu adalah perasaanku sesungguhnya kala itu dan aku tetap menjaga dan mempertahankan mimpi itu hingga kini (mudah-mudahan mimpi itu bisa kuraih suatu saat nanti, amin…)

Sementara itu, tentang yang tertulis pada “diary” itu di bagian akhirnya, tentang seseorang muslim yang ingin kujumpai di sana—yang adalah kekasihku—tentu aku tak sungguhan. Kini aku sungguh menyerahkan takdir “yang satu itu” pada Tuhan.
Bukan karena terluka berkali-kali lantas aku menyerah pada takdir sendiri. Melainkan karena mulai sekarang kupercayakan masalah “yang satu itu” pada-Nya. Kuserahkan semua pada-Nya kini. Tak mau lagi kubikin kriteria-kriteria aneh dan tak masuk akal untuk calon pendampingku nanti, lantas “memesan-nya” –pendamping yang sesuai dengan kriteriaku itu—pada Tuhan.

Calon pendamping?
Uhuy, ente udah gak sabar pingin berkeluarga ya, Nuy??? Hahaha…
Masih kecil! Sekolah dulu yang bener! Kuliah aja gak kelar-kelar, udah mau berkeluarga… Capek deh.

Yeee, siapa juga yang mau berkeluarga sekarang? Ya gak ada salahnya kan cay kalo gw udah mulai mikirin “itu”. Emak gw nih yang udah ketar-ketir dengan “pilihan” gw nanti…

Yowis, semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik buat ente, Nuy…
Amin…

Kamis, 03 Juni 2010

Boleh Berbahasa Gaul asal...

Bahasa memiliki sifat yang dinamis. Ia terus berkembang mengikuti zaman, menyesuaikan kebutuhan pengguna bahasa itu sendiri. Maka, lahirlah istilah bahasa prokem dan—yang paling baru—bahasa “alay” alias bahasa “anak lebay”. Keduanya termasuk dalam bahasa slang, yakni bahasa pergaulan yang ngetren di kalangan anak muda.

Jenis bahasa prokem sudah kita kenal sebelumnya, yakni kira-kira pada 1970-an.Teguh Esha dalam novelnya yang berjudul Ali Topan Anak Jalanan pertama kali mengenalkan istilah bahasa prokem ini. Bahasa prokem ini sendiri mulanya untuk menyebut istilah bahasa preman. Beberapa istilah dalam bahasa prokem yang masih dipertahankan hingga saat ini di antaranya “bokap” (bapak), “nyokap” (ibu), “doku” (duit/uang), “doi” (dia), dan “culun” (lugu).

Sementara itu, bahasa “alay” mulai berkembang di masyarakat sejak kemunculan internet dan telepon seluler, yakni mulai tahun 2000-an, ketika anak-anak muda mulai gemar mengobrol (chatting) di dunia maya (internet). Gaya bahasa “alay” misalnya pada penggunakan kata seperti “akuwh”, “akyu”, “aq” (aku); “cowwy”, “sowry” (sorry/maaf), dan sebagainya.

Sebenarnya kehadiran bahasa slang tak pernah menjadi soal bagi bahasa Indonesia. Mengingat sifat bahasa yang dinamis itu tadi, ragam bahasa slang tersebut berterima untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Namun, bahasa slang mulai terasa “mengancam” bahasa Indonesia begitu kehadirannya (bahasa slang) terlalu menarik perhatian masyarakat sehingga membuat mayarakat lebih menyenangi penggunaan bahasa slang ketimbang ragam bahasa Indonesia yang formal (baku).

Ragam bahasa Indonesia yang formal dianggap kaku dan tidak laku. Begitu menurut budayawan Remy Silado. Hal itu yang menyebabkan anak-anak muda tidak begitu menyenangi bahasa Indonesia yang baku. Karena itu pula anak-anak muda—yang menyenangi sesuatu yang dinamis dan inovatif—itu mencari hal-hal baru, salah satunya menggunakan bahasa slang tersebut.

Tak jarang penulis menemukan bahasa Indonesia disepelekan oleh sebagian besar orang. Mahasiswa yang berkuliah di Jurusan Bahasa Indonesia sering mendapat “perlakuan tak menyenangkan” dari sebagian besar orang tersebut lantaran keputusannya (mahasiswa) berkuliah di jurusan itu dinilai tidak tepat. Mereka—sebagian besar orang yang menyepelekan bahasa Indonesia itu—menganggap bahasa Indonesia bukanlah sebuah bidang keilmuan yang perlu ditekuni dengan serius karena bahasa (bahasa Indonesia) itu adalah bahasa yang kita pergunakan sehari-hari. Menurut mereka, kecil kemungkinan kita melakukan kesalahan berbahasa Indonesia karena bahasa itu kita pergunakan sehari-hari.

Penyepelean terhadap ragam bahasa Indonesia yang baku tersebut kemudian menjadi bumerang bagi anak-anak muda sendiri. Kementerian Pendidikan Nasional melansir, sekitar 14 ribu dari 26 ribu siswa yang tak lulus ujian nasional terjanggal di pelajaran bahasa Indonesia. (Koran Tempo, edisi nomor 3177 tahun X). Artinya, lebih dari 50 persen siswa tak lulus ujian nasional gara-gara bahasa Indonesia.

Fenomena ini semestinya menjadi pukulan telak bagi kita semua. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa negara kita, bahasa persatuan kita, malah menjadi ‘batu sandungan’ bagi masyarakatnya sendiri. Ini sebagai bukti bahwa bahasa Indonesia tidak bisa disepelekan begitu saja. Semestinyalah kita menjunjung bahasa persatuan kita. Apabila kita menengok bagaimana perjuangan para pemuda pada 28 Oktober 1928 lalu yang berjuang mati-matian untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda, malu rasanya menyepelekan bahasa Indonesia.

Terkait dengan kehadiran bahasa slang yang disinggung di muka, menurut hemat penulis, penggunaan bahasa slang itu tak menjadi soal sejauh kita tak melupakan ragam bahasa Indonesia yang baku. Jadi, utamanya, kuasai juga ragam baku bahasa Indonesia. Di sinilah pentingnya nasionalisme dalam berbahasa Indonesia. Buat apa pandai bersilat lidah dalam bahasa gaul—demi dibilang “keren”—tapi bahasa Indonesianya kacau?

Masalah bahasa ini adalah masalah ranah. Semua ada tempatnya. Kita tidak bisa menafikan ragam formal (ragam baku) yang ada di lingkungan kita. Tak mungkin kan buku-buku teks yang ditulis dalam bahasa Indonesia disampaikan dengan bahasa gaul. Atau, apa jadinya kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato kenegaraannya dalam bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa prokem misalnya. Nah, lho.

Kamis, 27 Mei 2010

Yang Tersisa dari Kuliah Kajian Puisi

Mulanya hanya "iseng" ajari kawan membuat blog.
Padahal gw juga sama begonya sama dia, sama-sama masih pemula di dunia blog. qeqeqeqeqe

Aku pun mengajarinya sebisaku.
Singkat cerita, blog-nya sudah jadi dan ia ingin mem-posting tulisannya ke blog-nya.
 Owh, dia ingin memasukkan puisi rupanya!! :)
Penasaran dengan puisi yang akan di-posting-nya, iseng kulirik puisinya.

Aku terperanjat. Itu kan kumpulan puisi kawan-kawan di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006 di kampusku saat kuliah Apresiasi Puisi dulu!!
Uhuy, rupanya dia masih menyimpan data-data itu.

Luar biasa ukhti ini. Ketika kawan-kawan seangkatan--mungkin juga dosen yang bersangkutan--lupa bahwa kami pernah ditugasi membuat puisi, dia masih menyimpan datanya. Lengkap! Semua puisi mahasiswa BI '06 yang mengikuti kuliah itu ada semua padanya.

Nah, puisiku juga ada di sana.
Ini dia puisiku. puisi ini sempat menarik memoriku pada kenangan yang mengilhami terciptanya puisi ini dulu...

Buat kawan-kawan BI '06 yang ingin bernostalgia dengan puisi-puisinya yang dibuat dulu (saat kuliah Apresiasi Puisi dengan Pak Munaris), mintalah datanya pada kawan kita: Susi Desita Wika...

Payung Biru
Lima tahun lalu / di bawah payung biru /

Lebat hujan / siram jalanan sepi /

dan mencekam. Malam tambah

pekat / tambah mencekam /

tambah mencekam /

tambah

mencekam /

begitu

mencekam. /

Hingga tak siapa

mau bercengkerama. / Tinggal

dua anak manusia / di bawah payung

biru. / dalam beku, / dingin. / Terasa kilat

memutus pandangan mesra. / Terasa setitik hujan

dinginkan bara. / di bawah payung biru / yang punya

cerita / tenggelamnya asa. / Akhir rasa, / akhir cerita

Senin, 17 Mei 2010

Tentang anak yang berjualan koran dan adikku

Dengan menahan kantuk yang teramat berat, tersuruk-suruk aku menyusuri trotoar kampus. Kantuk ini tak 'kan lagi bisa kutahan. Bagaimana tidak, aku tak mengistirahatkan diri selama 24 jam. Seusai dari kantor aku langsung ke PKM, mengecek tulisan kawan-kawan yang segera akan dicetak untuk dibikin tabloid dwimingguan.
Maka, kuniatkan, begitu sampai di rumah nanti, 'kan kumanjakan diri ini dengan tidur sepuasnya. Hah!

Melelahkan sekali mengoreksi tulisan kawan-kawan yang luar biasa berantakan itu. Secara substansial tulisan mereka memang bagus--meski ada juga yang nyeleneh. Tapi cara penyampaiannya sungguh membikin pusing kepala. Klausa-klausa dibiarkan bertumpuk-tumpuk dalam satu kalimat. Sebagai pembaca--yang membaca tulisan mereka lebih duluan dari teman-teman mahasiswa lainnya--aku hanya menggelengkan kepala berkali-kali. Bagaimana mungkin bisa kutangkap maksud yang ingin disampaikan kawan-kawanku itu bila dalam satu kalimat saja ada begitu banyak ide yang mereka jejalkan?

Huft, capek deh...
Jangan banyak ngeluh cay... Itu udah jadi kewajiban ente untuk ngebetulin tulisan mereka dari segi kebahasaan! Inget kagak kalo' ente dulu pernah punya keinginan untuk ngebetulin tulisan mereka dari segi kebahasaan? Waktu tes wawancara masuk "sekolah" itu dulu...
Inget kagak???


Ya, aku merasa bertanggung jawab, sangat merasa bertanggung jawab...
Sudah lama sebenarnya aku ingin melakukannya. Tapi aku memang tak punya keberanian untuk menyuarakan keinginanku, pandangan-pandanganku. Bahkan, sekadar untuk berkata "tidak" saja, aku tak punya nyali!!
Hah! Pengecut! Penakut!

Ah, sudahlah...
Ya, belakangan ini aku tengah belajar untuk lebih berani, dalam hal apa pun...

Hoah...
Ini kantuk sungguh tak tertanggungkan lagi. Angkutan kota yang jalur operasionalnya searah dengan rumahku tiba-tiba mencegatku yang sedari tadi celingukan mencari-cari angkutan. Segera saja aku naiki angkutan yang sudah terisi beberapa orang di dalamnya.
Hm, mereka cantik-cantik, tampan-tampan, dan wangiiiiiiiiii...
Tak sepertiku yang kumal dan berantakan karena belum mandi, hahahaha

Angkutan yang kutumpangi pun melaju seiring angin yang berhembus dingin menusuk-nusuk wajahku dari jendela angkutan yang kubiarkan terbuka.

Kulayangkan pandangan ke luar jendela...
Sepasang mataku yang mengantuk tertumbuk pada bayangan dua sosok anak laki-laki yang duduk di trotoar, persis di dekat kediaman rektor, dekat masjid kampus itu. Kulirik jam di telepon selularku. Pukul 06.30...

Sepagi ini, sedang apa keduanya di situ? Tidakkah mereka bersekolah? Bukankah seharusnya mereka di sekolah pada jam-jam begini? Atau setidaknya mereka seharusnya tengah bersiap-siap untuk ke sekolah? Aku memperkirakan keduanya baru bersekolah di bangku SD kelas II atau kelas III...

Keduanya duduk di trotoar itu dengan setumpuk koran di pangkuan mereka. Pandangan keduanya menyiratkan sedang menunggu sesuatu, atau seseorang...
Ya, tentu saja, pastilah mereka sedang menunggu orang yang mau membeli koran mereka itu...

Bayangan mereka berkelebat di pikiranku. Angkutan yang membawaku menuju rumah lambat laun memang telah meninggalkan mereka yang membisu di trotoar itu, namun pikiranku seakan tak mau lepas dari keduanya...
Terbayang olehku bagaimana mereka duduk di sana, memangku koran, memandang hampa ke jalanan, menunggu seseorang yang akan membeli koran mereka...

Mengapa mereka di sana? Mengapa mereka berjualan koran? Mengapa?
Bayangan tentang dua anak itu masih terus berkelebat sampai aku tiba di rumah.

Setibanya aku di rumah, kudapati adikku, si bungsu, tengah menonton film kartun kesayangannya, Spongebob Squarepants. Tiba-tiba perasaan ini tak menentu.
Aku tak ingin adikku seperti kedua anak yang berjualan koran di kampus tadi...

Kuacak rambutnya yang berantakan karena belum mandi. "Dek, mandi gih, ke sekolah..."
Ia hanya berkilah, "Nantilah...", tapi aku sayang padanya.

Sabtu, 17 April 2010

Betapa cepat orang berubah.
Dalam sekejap, dalam sesaat,
pikiran manusia dapat melompat

Apalagi kalau mood sudah bersahabat
atau sebaliknya: berkhianat...

Kamis, 25 Maret 2010

Cerpen Pertamaku


Kawan-kawan, saat ini aku lagi belajar menulis cerpen. Alhamdulillah, cerpen pertamaku dimuat di salah satu surat kabar daerah di Lampung.

Nah, ini dia nih cerpen pertamaku.
Karena masih pemula, jadi maklum aja ya kalo' tak bagus-bagus amat yah, hehehe...

Sunday, February 21, 2010

Biola Tua dan Sepotong Mimpi

Cerpen Nurhandayani

SUARA merdu yang mengalun dari gesekan biolamu selalu dapat membawaku kepada mimpi-mimpi terdahulu, yang pernah kugantungkan pada langit-langit dan kulupakan begitu saja. Untuk alasan yang tak pernah kumengerti, tak kulanjutkan mimpi itu. Mimpi itu pun terlupakan sampai akhirnya aku menemukanmu.

Dan kini mimpi itu mencuat kembali...

"Aku mau belajar main biola. Ajari aku," pintaku padamu suatu petang.

Kala itu aku duduk di hadapanmu, terkesima pada permainanmu, tertegun melihatmu memainkan lagu kesenanganmu dengan biola tua itu.

"Ehm, boleh. Tapi gimana caranya? Aku kan cuma punya satu biola..." tanyamu.

"Hm, kita bisa gantian kan? Ajari aku, ya? Mau ya?"

Kau tak mampu menolak pintaku. Kau hanya mengangguk sambil menyunggingkan senyum khasmu.

Tak pernah aku segirang ini, mendapati kesempatan mewujudkan mimpi yang lama terendap itu...

***

Entah bagaimana kita tiba-tiba jadi sedekat ini. Dulu tidak. Kau senang membunuh waktu dengan teman-teman sebayamu. Bersenda gurau, tertawa, tak menghiraukan orang lain di sekitar kalian yang mungkin terusik.

Tanpa kausadari, waktulah yang sebenarnya telah membunuhmu... Sementara aku lebih suka kesendirian, menyepi, menulis diari...

"Ngok...ngik...ngok..."

Di tanganku biolamu berdecit sumbang seperti derit pintu yang rusak.

Astaga, bukan main stresnya aku di hari pertamaku belajar bermain biola.

Perlahan dan ragu kugesek dawai biolamu. Betapa pun aku berusaha berhati-hati agar dapat menghasilkan suara yang merdu, tetap saja biolamu tak mau bekerja sama denganku. Ia menjerit seakan tak mau kumainkan.

"Kalau biola ini bisa bicara, dia pasti sudah berontak meminta aku berhenti memainkannya..." keluhku ketika aku mulai putus asa.

"Ya, namanya juga baru belajar. Mana ada orang yang belajar langsung bisa. Jangan nyerah dong..."

"Bunyinya kok aneh begini, ya? Bunyinya aneh, kayak..."

Aku terus menggerutu. Aku tak mampu menemu diksi yang tepat untuk melukiskan keherananku pada biola yang tak mau bersuara merdu di tanganku itu.

Lantas dengan sabar engkau tunjukkan cara memegang bow--alat penggesek biola yang menyerupai busur--dengan benar. Karena hanya ada satu biola, kau dan aku bergantian memainkannya.

"Cara menggeseknya jangan ragu-ragu dan terlalu lambat. Tadi itu gesekannya kurang tekanan...

Ehm, kau tahu, Nis? Aku belajar sesuatu dari biola ini."

"Apa?"

"Belajar biola sama halnya dengan belajar menjadi tegas."

"Kok bisa?"

"Ya, karena memainkan biola membutuhkan ketegasan untuk membuat gesekan dan tekanan yang tepat. Dalam permainan biola, ketegasan dalam membuat tekanan yang tepat itu perlu sekalipun kau bermaksud menghasilkan nada yang lembut..."

Aku terdiam demi mencerna kata-katamu. Tak mengerti dengan apa yang kauucapkan, kulanjutkan usahaku untuk dapat menghasilkan nada-nada dasar dengan tepat.

Ketika aku berusaha menghasilkan bunyi do tinggi, biolamu meraung lagi. Kulirik dirimu tengah mencoba menyembunyikan tawa yang nyaris meledak.

Aku tahu. Itu nada tersumbang yang pernah kuhasilkan selama aku berlatih padamu.

***

Kecerdasan musikalmu selalu dapat membuatku tertegun-tegun, mencuatkan anganku ingin bisa mengalahkan permainan biolamu. Atau paling tidak bisa menyamai kemahiranmu.

Lantas, ketika aku tengah terkagum-kagum di sela permainanmu, seringnya tanpa kusadari aku mendapati diriku sendiri bergumam, "Kapan ya aku bisa sehebat kamu?"

Kau tergelak.

"Makanya, jangan mudah nyerah," katamu singkat.

Untuk menemani latihanku kali ini, engkau membuatkan dua cangkir kopi. Satu untukku, satu lagi untukmu sendiri.

Tanpa menghiraukan uap panas yang masih mengepul, kuraih kopi yang kau sajikan untukku. Kuseruput...

Hm, manis sekali kopi buatanmu.

Sebenarnya aku tak suka manis. Namun demi menghormatimu, aku berpura-pura menikmatinya.

Kuraih biola yang tersandar di kursi anyaman di sisimu. Aku mulai menggesek-gesekkan bow di atas dawai biola tuamu, berkonsentrasi pada bunyi-bunyi yang kuhasilkan.

"Untuk memainkan biola, kau harus mengenal setiap nada dengan baik. Kau mesti tahu perbedaan setiap nada. Yang diutamakan adalah kemampuan mendengarkan perbedaan setiap bunyi," uraimu seraya tetap asyik dengan petikan gitar akustikmu.

"Menggunakan feeling maksudnya?"

Kau mengangguk.

Aku mengernyit, berkonsentrasi pada bunyi-bunyi yang kuhasilkan dari gesekan biolaku. Berulang-ulang nada yang kuhasilkan meleset. Untuk menghasilkan nada-nada dasar dengan tepat, aku mesti mengulang berkali-kali.

Rasa pegal mulai menjalar di lengan kiriku karena menahan tubuh biola berjam-jam. Pundak kiriku pun luar biasa pegalnya karena terus-menerus menjepit pantat biola selama berlatih.

Kau tersenyum hangat melihatku hampir menyerah. Kuberikan biola kepadamu. "Giliranmu..."

"Pegal? Lama-lama juga terbiasa," ujarmu seraya mulai memainkan lagu-lagu klasik yang biasa kau mainkan.

Aku takjub mendengar bagaimana biola itu mendendangkan suara yang merdu. Di tanganmu, biola itu mau bernyanyi dengan indah. Turun naik kau mainkan bow di atas senar biolamu. Jemari kirimu menari-nari dengan lincahnya di sepanjang leher biola seakan bergerak sendiri tanpa instruksi darimu.

Sebentar-sebentar jemarimu menggetar-getarkan dawai, memainkan teknik vibrato, menghasilkan nada yang begitu lembut. Tak ada bunyi yang sumbang. Tak ada nada yang meleset. Sempurna!

Selama bermain, sepasang mata sayumu terpejam, entah dirimu berusaha berkonsentrasi pada nada-nada yang kaucoba hasilkan ataukah kau tengah menikmati permainanmu sendiri??

Kurang dari sepuluh menit engkau membuka mata. Kau usaikan permainanmu.

Andai saja engkau melihatnya, engkau akan mendapatiku tengah terpesona padamu, masih mabuk dengan sisa-sisa kekagumanku padamu tadi.

"Ayo, coba lagi! Dengarkan nadanya, rasakan perbedaannya. Gunakan pendengaran, perasaanmu, bukan penglihatan..."

Kuraih biola yang kausodorkan padaku.

Aku memejam mata, mencoba meniru caramu bermain, mulai membuat gesekan-gesekan di atas dawai biolamu.

Biolamu meraung-raung lagi di tanganku.

***

Kali ini aku bermain lebih baik dari minggu-minggu sebelumnya. Aku mulai pandai menghasilkan nada-nada dasar dengan tepat.

"Coba mainkan sebuah lagu."

Aku tercenung. Lagu apa ya yang mau kumainkan?

"Aku kan masih pemula. Mana bisa aku mainkan lagu-lagu klasik seperti yang biasa kau mainkan. Itu kan susah..."

"Belajar dari yang mudah dulu. Coba mainkan melodi Ibu Kita Kartini."

Aku menurut. Kucoba mainkan lagu yang kauminta dengan nada yang terpatah-patah. Berkali-kali aku keliru membunyikan beberapa nada.

Aku nyaris putus asa. Kulihat kau hanya tersenyum menyaksikan permainanku yang buruk.

"Aku memang tak berbakat," keluhku seusai permainanku.

"Kau berbakat."

"Bohong!"

"Tidak. Aku sungguhan."

Aku memberengut, memeluk biolamu, mengelus-elusnya dengan perasaan putus asa.

Melihatku putus asa, kau tergelak.

"Pasti bisa, asal jangan menyerah. Kamu tahu Nisa? Aku tak berguru dengan siapa pun saat belajar biola. Tak ada yang mengajariku. Kau punya aku. Ada aku yang akan mengajarimu. Kau punya bakat.

Ah, jangan risaukan bakat kalau kau merasa tak berbakat. Lagi pula bakat bukan syarat utama keberhasilan seseorang. Yang penting kau mau berusaha.

Kau punya mimpi. Kau punya semangat. Nah, tunggu apa lagi? Wujudkan saja mimpimu..."

Aku tertegun mencerna kata-katamu.

"Ehm, apa impianmu?"

Kau menggosok tali busur biolamu dengan rosin. Katamu, sebelum bermain, tali busur perlu digosok dengan rosin agar peret. Sementara aku duduk di kursi anyaman di hadapanmu, memandang polos setiap gerakan tanganmu yang begitu terampil menggosokkan rosin pada tali busur biolamu.

"Aku tidak akan berhenti bermain biola sampai aku bisa melebihi Hendri Lamiri. Aku ingin suatu saat nanti bisa bermain biola dengan biolis-biolis hebat, seperti Hendri Lamiri itu..."

Setelah kaurasa tali busur biola itu peret, kau menjajalnya.

Lantas kau mengakhiri sesi latihanku hari itu dengan memainkan melodi Rayuan Pulau Kelapa, yang mampu membangkitkan rasa nasionalisme bagi siapa pun yang mendengarnya. Spontan kuraih gitar yang bergeming sejak tadi di sisi kursi anyaman di sisimu. Kuiringi permainan biolamu dengan petikan gitarku yang tak bagus-bagus amat.

Aku ingin melihatmu menggapai mimpimu...

***

Aku tergesa. Berlari di antara kerumunan orang yang lalu lalang di rumah sakit itu.

SMS dari kakak perempuanmu pagi tadi mengejutkanku.

Jantungku berdegup kencang mendengar kabar sebuah truk menabrak sepeda motor yang kau kendarai saat kau hendak ke kampus pagi tadi. Sialnya, sopir truk yang menabrakmu pergi meninggalkanmu begitu saja terkapar di jalan.

Aku lekas menuju ruangan tempatmu dirawat.

Setibanya aku di ruangan itu, aku mendapati keluargamu berkumpul mengelilingimu, menangisi keadaanmu.

Sementara kau tergolek di ranjangmu. Wajahmu penuh luka. Perban yang membungkus paha kiri, kedua kaki, dan lengan kananmu basah oleh darahmu sendiri yang merembes.

Perban yang melingkar di kepalamu pun tinggal sebagian kecil saja daerah yang masih terlihat putih, selebihnya didominasi merah darah yang mengucur deras dari kepalamu.

Dan, astaga, lengan kirimu paling banyak mengeluarkan darah...

Aku terhenyak melihat keadaanmu.

"Kata dokter, lengan kirinya patah..." bisik kakak perempuanmu dengan menahan isaknya.

***

Kau jadi pemurung semenjak kecelakaan itu.

"Aku tidak akan bisa bermain biola lagi..." ujarmu parau ketika aku--untuk ke sekian kalinya--ke rumahmu untuk melihat keadaanmu.

Bim, kau membuatku cemas...

Aku bisa merasakan kepedihan yang mendalam dari suaramu yang bergetar.

Kecelakaan itu telah membuat lengan kirimu patah. Kenyataan bahwa kau tak bisa menggunakan lengan kirimu untuk bermain biola telah membuatmu menjadi sosok yang rapuh.

Dan yang terparah, kecelakaan itu telah merenggut semangatmu...

"Tapi kata dokter kau masih bisa sembuh, Bima."

"Itu hanya kata-kata penghibur! Aku bukan anak kecil yang tak bisa menerima kenyataan, yang harus dibohongi hanya untuk membesarkan hatinya!!!"

"Bukan dokter yang berkuasa menyembuhkan, tapi Tuhan. Dokter boleh berkata kau tak kan sembuh, tapi kita tetap harus mencoba segala cara agar lengan kirimu pulih. Kita bisa coba pengobatan alternatif mungkin...?"

Belum sempat kutuntaskan kalimatku, dengan gerakan tak terduga kau meraih bahuku dengan tangan kananmu yang tak cedera dan mengguncangnya dengan keras, "Aku cacat Nisa! Apa kau tidak mengerti? Sekarang aku cacat! Aku tak kan bisa bermain biola lagi!"

Nada suaramu meninggi seiring bulir-bulir bening yang menderas dari mata sayumu, membentuk aliran sungai kecil di pipimu yang cekung.

Lantas dengan kasar kauempaskan bahuku, berbalik memunggungiku.

Aku hanya bergeming menatap ketakberdayaanmu, seperti biola tua yang tergolek membisu di sudut kamarmu itu.

Kulihat bahumu terguncang, aku tahu kau berusaha menyembunyikan tangismu. Namun seperti juga isakmu, tak pernah isakku sedalam ini.

Kesakitanmu adalah kesakitanku, Bima...

Aku berjalan ke arahmu, membuat jarak di antara kita sedekat mungkin. Penuh kehatian-hatian kusentuh bahumu.

"Aku tahu ini berat buatmu. Kau tidak cacat. Jangan menyerah dulu, Bima..."

Tiba-tiba kau berbalik dan memelukku dengan gerakan yang kaku. Lengan kirimu tak memungkinkanmu leluasa untuk memelukku. Segera saja kau membasahi pundakku dengan tangis yang tak mampu lagi kaubendung.

"Maafkan aku Nisa..."

"Jangan menyerah, Bima. Kau punya semangat. Kau punya mimpi. Kau tahu bahwa menggapai mimpi itu tak mudah. Ini belum apa-apa, Bim. Bisa jadi ini baru sandungan kecil. Masih banyak tantangan di depanmu, menunggumu..."

Kurasakan pundakku terasa dingin. Air matamu merembes, membasahi dress ungu mudaku.

"Tolong aku, Nisa..."

"Meski tak banyak yang bisa kulakukan untuk membantumu, paling tidak aku ingin kau tahu bahwa kau tak sendirian. Kau punya aku. Ada aku yang akan menjagamu. Aku di sisimu untuk menggapai mimpi-mimpimu. Nah, tunggu apa lagi? Wujudkan saja mimpimu. Jangan pernah berhenti meyakini bahwa mimpimu akan tercapai..."

Isakmu makin keras.

Dan, hei, apakah penglihatanku salah? Biola tuamu--yang sejak tadi tersandar di tepi tempat tidurmu--dawainya bergetar-getar.

Aku menyeka air yang terasa penuh di kedua mataku agar tak menghalangi pandanganku. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat, aku mengucek mata. Kali ini bukan hanya dawainya yang menggetar-getar, tali busur biolamu pun ikut bergetar.

Aku tersenyum, mungkin nyaris setengah tertawa.

"Ayo kita main biola lagi..." bisikku di telingamu. *


---------------
Nurhandayani, lahir di Tanjungkarang, 12 Juni 1986, mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung.