Ini ruang ekspresi, wahana berbagi...
Ini gejolak yang terjadi dalam diri,
Ini dia tanda eksistensi diri,
Hehe...
Mari menengok Nurhandayani!!!
Ini buku tulisku, ini diary-ku...

Selasa, 29 Juni 2010

Jangan Marah Lagi, Sayangku

Sudah, jangan marah lagi padaku
tak perlu berlalu dan membanting pintu
tak perlu bibir seksimu mengerucut seperti itu
tambah tak manis rupamu ketika kaulipat wajahmu.

Sudah, jangan marah lagi ya, sayangku...
mau sampai kapan kaudiamkan aku?
sampai-sampai kau tak sudi lagi kucium dan kupeluk dengan rindu.

Haruskah kau sebegitu marahnya hingga tak mau lagi kugelitiki atau kusentuh sedikit saja? Mengapa mesti membuang muka tiap kita bersua?

Aku tahu kau sangat menyukainya,
menikmatinya berlama-lama hingga terlupa segala yang lebih indah di luar sana,
mencumbuinya, terlena...
Ah, sayangku, bila kauturutinya, tersia saja sesuatu yang jauh lebih menyenangkan—yang menantimu—di luar sana...

Aku tahu kau menikmati saat-saat jantungmu berpacu dalam deru dan seru adegan-adegan yang menguji nyali itu,
aku tahu kau menikmati saat-saat menertawakan orang lain yang terluka atau ‘terbodohi’ dalam cerita itu,
aku bisa melihat kau dan kawan-kawanmu ikut menikmati babak-babak manisnya balas dendam dalam kisah itu...

Sayangku, aku tak menyukainya.
Kali ini aku tak menyukai apa yang kausukai itu.
Aku tak peduli meski kaubilang ia seru
aku tak mau dengar alasanmu walau kau berkeras yakinkan aku bahwa ia tak buruk-buruk amat buatmu
aku tak menerima kau memilihnya dan mementahkan kata-kataku
aku marah kalau kulihat kau berasyik-masyuk dengannya
aku cemburu bila kau nafikan aku hanya demi hasratmu yang ingin bersamanya meski cuma satu-dua jam...
Terlebih, sesuatu yang kucemburui adalah dia yang tak baik untuk kaunikmati...

Maaf, kukacaukan acara nonton barengmu bersama kawan-kawanmu siang tadi.
Aku tak suka film yang kau pilih untuk kau nikmati bersama kawan-kawanmu.
Masa bodoh dengan seram, seru, perang-perangan, tembak-tembakan, berantem-beranteman, kerennya pria bertato dalam film itu, atau perempuan-perempuan seusiaku yang terlihat asyik-asyik saja mengenakan rok ketat di atas lutut dan baju atasan dengan bahu terbuka di tengah keramaian...

Tidak, sayangku...
Aku tak mau dia—film-film yang kau suka itu—meracunimu, membentukmu menjadi “monster kecil” yang senang berantem-beranteman dengan kawan-kawanmu seusai menyaksikan film-film itu.
Lihatlah, di usiamu kini kau bahkan sudah mengenal kata “seksi”!
Kau juga mulai ketakutan bila pergi tidur sendirian.
Kemarin-kemarin aku sempat melihatmu ‘bergulat’ dengan anak tetangga sebelah rumah hingga salah satu dari kalian menangis...

Aku tahu kau marah sekali padaku karena bukan kali ini saja kumatikan televisi begitu tiba-tiba di tengah-tengah keasyikanmu menyaksikan film berantem-beranteman atau film setan-setanan itu.

Sudah ya sayangku, jangan marah lagi padaku...
Daripada kaubunuh waktumu dengannya (film-film itu), pergilah bermain dengan kawan-kawanmu di luar sana. Permainan di luar sana jauh lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan.
Sungguh, mainan di luar sana jauh lebih menyenangkan daripada PlayStation yang mereka katakan asyik dan seru itu.

Kau bisa bermain bola, mobil-mobilan, kelereng, gobak sodor, petak umpet, main benteng, patok lele, atau mainan apa pun yang biasa kau mainkan bersama mereka...
bermain perang lumpur juga boleh
bermain dengan hujan pun boleh
mencari ikan citul atau ikan gepi di selokan pun kubolehkan meski ibumu akan memarahimu habis-habisan sesudahnya.
Jantungmu akan berpacu ketika kau berlari, ketika kau berkejaran bersama kawan-kawan sebayamu. Kau akan punya banyak kawan, merasakan indahnya dan serunya perkawanan, persahabatan, dan permainan itu sendiri...
Aku tak ‘kan kesal bila kau pulang dengan lutut berdarah atau kaki terluka...
Tenang saja. Aku bersedia 'kongkalikong' denganmu agar kau tak dimarahi ibu untuk ‘kesalahanmu’ yang satu itu.

Sayangku, aku tak ’kan melarangmu bila kau ingin bermain lompat tali, bermain congklak, bermain bola bekel, atau bermain masak-masakan dengan anak perempuan tetangga sebelah rumah kita itu...
Tak apa. Main saja. Memangnya kenapa kalau kau ingin bermain dengan anak perempuan? Kau kan bisa berperan sebagai pedagang yang berpura-pura menjual sayuran. Atau, kalau kau ingin main boneka-bonekaan dengan mereka (anak-anak perempuan itu), kau bisa berperan sebagi penjual bonekanya. Terserah kau saja, bermain saja sesukamu.

Dan kalau aku tak salah ingat, kau masih menyimpan wayang bergambar tokoh-tokoh kartun itu kan? Itu lho, wayang-wayangan yang gambarnya macam-macam. Kau membelinya dari pedagang mainan yang menjajakan jualannya di sekolahmu. wayang-wayangan itu ada yang bergambar Naruto, Dragon Ball, Avatar Aang, Ipin dan Upin, Spongebob Squarepants, macam-macamlah...
Aku tak pernah membuang mainan wayang-wayangan kepunyaanmu itu kalau kebetulan kutemukan terserak di lantai saat aku sedang menyapu (Kau selalu sembarangan meletakkan mainan-mainanmu). Nah, bermainlah dengan wayang-wayangan itu...

Sudah ya sayangku, jangan cemberut begitu.
Tak perlu berlalu dan membanting pintu,
tak perlu mengerucut bibir seksimu,
tak perlu kaudiamkan aku hingga tak mau lagi kupanggil ‘sayang’...

Baiklah, kalau kau memang suka menonton, besok kucarikan film yang bagus untukmu.
Hm, kau suka Spongebob Squarepants kan? Atau, bagaimana menurutmu kalau Ipin dan Upin? Oya, kau juga suka film Khrisna itu kan?

Nanti kalau sudah kubelikan filmnya, kau aturlah waktumu kapan saatnya bermain, belajar, dan menonton. Kalau kau tak bisa atur waktumu sendiri, jangan salahkan aku kalau kusela keasyikanmu—menonton film—lagi.
Pun aku tak ‘kan segan mematikan televisi—karena kau terlalu asyik menonton—bila tak kau acuhkan kawan yang ke rumah untuk mengajakmu ke surau...

Sayangku, jangan kau berpikir aku mencerewetimu karena aku tak sayang padamu. Kau tahu kan, aku tersangat menyayangimu,
adikku tersayang...

(28 Juni 2010, pukul 13-an)

Pintu Itu Lagi

Selimut kabut jatuh di hatinya yang ragu-ragu. membayang segala yang tertangkap kalbu. semakin memburam labirin yang disusurinya.

kawannya hanya tarian lidah api yang disulap dari ketiadaan yang pelan mengendap. ia merasai nyalanya yang mengerjap-ngerjap, mengerlip seakan padam bersiap. "Jangan, jangan meninggalkanku dalam gelap..."

meski begitu ia tetap meraba dalam harap dan cemas--dalam gelap mendekap. terus mendaki sampai membentang di mukanya dua jalan setapak menuju pintu-pintu yang menunggu. akhirnyakah(?): putusnya pada jalan yang dikenalnya, yang pernah dilaluinya. masih: dengan cemas dan harap.