Ini ruang ekspresi, wahana berbagi...
Ini gejolak yang terjadi dalam diri,
Ini dia tanda eksistensi diri,
Hehe...
Mari menengok Nurhandayani!!!
Ini buku tulisku, ini diary-ku...

Jumat, 11 Juni 2010

“Diary” Kumal, Mimpi, dan Negeri India...

Aku membuka-buka lagi “buku diary” lamaku yang sudah luar biasa kumal dan berdebu.
Sebenarnya ia tak layak dikatakan buku diary karena “diary” lamaku itu hanya sekumpulan kertas bekas fotokopi makalah kuliahku—kira-kira setahun lalu—yang kumanfaatkan sisi belakangnya (kertas) yang masih kosong sehingga bisa kutulisi. Kumpulan kertas fotokopi makalah itu kujadikan satu, lalu kujepit dengan penjepit kertas. Maka jadilah ia “diary” yang siap kutulisi dengan apa pun, kapan pun, di manapun, sesering kumau...
Kadang-kadang aku bisa menulisi “diary” itu hingga lebih dari tiga kali dalam sehari. Tak heran, diaryku cepat habis, hehehehe

Abis? makanan kaleee...


Tau gak cay, pas gw liat-liat lagi fotokopian itu, rupanya itu bahan (materi) kuliah gw dulu. Busyet, ini materi kuliah udah jadi coret-coretan begini...
Isi materinya aja gw udah lupa. Hahay!

Gila ente, Nuy! Kreatif juga ente: mendaur ulang makalah buat bikin diary.
Kreatif tapi bego! Itu kan bahan kuliah. Kenapa gak cari kertas yang laen aja sih?


Yah, maklumlah. Jangankan untuk membeli diary, untuk membeli buku kuliah saja aku mesti pikir-pikir dulu saat itu. Bukan karena tak mau keluarkan uang alias pelit, tapi karena aku memang tak ada uang. Dan keadaan tak memegang uang lebih—untuk membeli buku kuliah—waktu itu terlampau sering. Hahahaaha…

Ehem, kubaca-baca diary-ku lembar demi lembar. Hohoho, rupanya saat itu aku sedang tertarik dengan lawan jenis dan aku tak berani mengungkapkan rasa ketertarikanku itu padanya. Maka aku tersiksa sendiri. Dan demi mengurangi perasaan tertekan karena menahan perasaan sendiri, kulampiaskan rasa sukaku pada cowok itu dengan mengadu pada “diary” dan menulis puisi...

Aku senyum-senyum sendiri membaca “diary” itu.
Walah, perasaanku dulu begitu meledak-ledak rupanya. Agak menjijikan juga membaca diary sendiri. Betapa tidak, aku berpikir—saat membaca “diary”-ku—berlebihan sekali apa yang kutuliskan di sana saat itu.

Hahaha, gw cuma ketawa aja ngebaca tulisan gw sendiri. Sumpah dah, lebay abizzzz
Gila, cay. Bisa juga gw melahirkan diksi-diksi puitis nan romantis kayak begono, qeqeqeqeqeq


Puisi-puisiku bertebaran hampir di setiap halaman.
Wah, rupanya lumayan produktif juga aku saat itu. Ternyata momen seperti itu—saat tumbuh rasa ketertarikan dengan lawan jenis—membuatku produktif dalam menulis.

Tapi bukan itu—tentang bagaimana aku tertarik pada seseorang—yang mau kuceritakan di sini. ‘Fase itu’ sudah terlewat seiring berjalannya waktu.
Di antara cerita-ceritaku tentang perasaanku terhadap someone itu, ada cerita yang berbeda sendiri di diary “edisi fotokopian”-ku itu. Kukatakan (ia) lain sendiri karena aku tak bicara tentang seseorang—yang sedang kusuka saat itu—di diary-ku tersebut.

Ada beberapa mimpi yang sempat kuabadikan di sana...
mimpi yang agak konyol bagi sebagian orang, namun tidak demikian bagiku.
Aku menuliskan mimpi ini ketika aku baru menyelesaikan (membaca) novel Taj Mahal karya John Shors.
Mimpi itu kutulis tahun lalu, tepatnya pada 11 Januari 2009...

(11 Januari 2009 pukul 12.58...)
Aku ingin jadi seorang penulis. Aku yakin suatu saat nanti aku akan jadi seorang penulis. Aku akan jadi penulis yang terkenal. Aku akan sehebat—bahkan lebih hebat—dari Hernowo, Gede Prama, Andrea Hirata, J.K. Rowling, siapa pun penulis itu...

Suatu saat nanti aku akan terbang ke India.
Suatu saat nanti kakiku akan menjejak Benteng Merah.
Suatu waktu nanti tanganku a kan meraba dinding pualam Taj Mahal dengan takjub.
Aku berlayar di atas sampan kecil di atas sungai Yamuna.

Aku tak berhenti bersyukur, terus mengagumi ciptaan-Nya dan terharu berkali-kali karena Ia menjelma nyatakan mimpi-mimpiku.

Aku tak hanya mengunjungi Benteng Merah, Taj Mahal, dan Sungai Yamuna, tetapi aku juga akan mengunjungi seluruh tanah India yang ditumbuhi binga-bunga cantik...
pegunungan hijau...
danau yang biru...

Aku akan mempelajari seni tari dan nyanyi…
Aku mengenakan sari...
Aku merayakan hari Holly...
Menyanyi, menari…
Menyaksikan pernikahan adat India…
Bertemu seorang muslim di sana…
Kekasihku!

Hahaha, lihatlah betapa gilanya aku waktu itu. Aku begitu terobsesi pada negara India. Aku suka sekali dengan tempat-tempat indah di sana—yang sering kulihat di televisi—serta kesenian tari dan nyayinya.
Aku suka bagaimana penduduk di sana mengungkapkan kebahagiaan mereka atau merayakan sesuatu dengan menyanyi dan menari. Ditambah John Shors yang begitu apik mendeskripsikan negara itu dalam novelnya, aku tambah tergila-gila pada India. Namun, sekali lagi, hanya pada sisi-sisi tertentu saja aku menyukainya, seperti yang kusebutkan tadi: tempat-tempatnya yang indah serta kesenian tari dan nyayinya.

Kemudian, beberapa bulan lalu, tepatnya pada 31 Januari 2010, aku dan kawan-kawan jurusan di kampus mengadakan studi banding ke Bali. Kami mengunjungi pertunjukan kesenian Barong di Desa Batu Bulan. Di antara penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut , ada sepasang turis yang kuduga berasal dari India.

Aku jelas sangat mengenali ciri-ciri yang begitu khas dari keduanya, yang semakin meyakinkanku bahwa mereka berasal dari India. Kulit gelap mereka, lantas sang wanita yang mengenakan semacam tanda di keningnya (sindhur) yang mencirikan bahwa ia wanita India...

Baru kali ini kulihat wujud warga India senyata-nyatanya! Selama ini kan aku baru melihat mereka di televisi.
Aku senang, ya gemes juga, geregetan pula. Ah, begitulah pokoknya, sulit diungkapkan dengan kata.

Lantas kuminta seorang kawan untuk mengambil gambarku dan kedua turis asal India itu. Maka dengan malu, ragu-ragu, dan bahasa Inggris yang kacau aku meminta kesediaan mereka untuk berfoto denganku.

Ceklik!
Jepretan kamera digital kawanku mengambil gambar kami dua kali.

Iiiiiiiiiih, senengnya aku kala itu…
hehehehe

Aku terus mengenang saat-saat menggembirakan waktu itu hingga kini.
Ah, mimpi yang kutulis pada diary-ku setahun lalu terasa begitu dekat denganku. Rasa-rasanya India itu begitu dekat. Mimpi itu semakin menguat dan aku semakin ingin mewujudkannya…

Aku memang sangat ingin menjadi penulis dan begitu ingin ke India. Yang tertulis dalam “diary”-ku saat itu adalah perasaanku sesungguhnya kala itu dan aku tetap menjaga dan mempertahankan mimpi itu hingga kini (mudah-mudahan mimpi itu bisa kuraih suatu saat nanti, amin…)

Sementara itu, tentang yang tertulis pada “diary” itu di bagian akhirnya, tentang seseorang muslim yang ingin kujumpai di sana—yang adalah kekasihku—tentu aku tak sungguhan. Kini aku sungguh menyerahkan takdir “yang satu itu” pada Tuhan.
Bukan karena terluka berkali-kali lantas aku menyerah pada takdir sendiri. Melainkan karena mulai sekarang kupercayakan masalah “yang satu itu” pada-Nya. Kuserahkan semua pada-Nya kini. Tak mau lagi kubikin kriteria-kriteria aneh dan tak masuk akal untuk calon pendampingku nanti, lantas “memesan-nya” –pendamping yang sesuai dengan kriteriaku itu—pada Tuhan.

Calon pendamping?
Uhuy, ente udah gak sabar pingin berkeluarga ya, Nuy??? Hahaha…
Masih kecil! Sekolah dulu yang bener! Kuliah aja gak kelar-kelar, udah mau berkeluarga… Capek deh.

Yeee, siapa juga yang mau berkeluarga sekarang? Ya gak ada salahnya kan cay kalo gw udah mulai mikirin “itu”. Emak gw nih yang udah ketar-ketir dengan “pilihan” gw nanti…

Yowis, semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik buat ente, Nuy…
Amin…