Ini ruang ekspresi, wahana berbagi...
Ini gejolak yang terjadi dalam diri,
Ini dia tanda eksistensi diri,
Hehe...
Mari menengok Nurhandayani!!!
Ini buku tulisku, ini diary-ku...

Sabtu, 27 November 2010

Violin Merah Senja

matahari cukup mengerti untuk tak menampakkan diri pagi ini

di hari ketika jemarinya menari-nari di sepanjang leher violin merah senjaku:
menunduk kalbu karenanya,
melupa pula omong kosong tentang pertemanan itu

ini gemuruh tak mau mereda,
oleh sebab geletar udara
gaung derunya menggema jua

Jumat, 26 November 2010

Kau dan Gadismu

pagi hendak datang saat gadismu sesegukan di kamar
sarung bantal dan selimutnya basah
bekas dipakai menyeka wajahnya yang tak pernah kering dari air mata:
di malam yang telat, di pagi yang terlambat

di gerimis yang begitu tiba-tiba,
gemuruh guntur seakan lebih cepat dari kilat:
menggelegar...
mengejutkan kau dan gadismu yang masih asyik di ayunan
—kau dan gadismu yang masih di buaian

di putaran angin yang membingungkan
kau dan gadismu terhenyak dalam takdir:
engkau terlempar ke samudra, gadismu ke hutan belantara
Tak ubahnya adam dan hawa yang terbuang dari syurga:
tercerai sejauh antara timur dan barat
—terberai dalam arah yang sesat

Gadismu hanya berdiam dengan segelas kopi tergenggam,
mengecap pahit yang dipilihnya,
sesak sendiri meski niat menutup pintu itu terasa kuat
Maka antara khauf dan raja’, lamat-lamat doa terpanjat:
“semoga kau masih di sana... semoga kau selalu di sana... di balik pintu itu...”

Selasa, 23 November 2010

Tanah

Tanah ini dulu sekali pernah kukenal
Ia ditinggalkan,
hanya sesekali pipit melompat-lompat lincah di hamparannya yang gersang,
mematuki biji-bijian atau sekadar bergurau dengan serangga yang beringsut-ingsut di atas bebatuan

lantas di suatu waktu
berkawan sehelai daun—yang telah datang masanya berkalang tanah,
kudengar keduanya bergurau dalam bisik yang paling samar
daun yang hampir busuk itu berkisah tentang hidup yang cuma sebentar di atas sana

pipit terbang meninggalkannya
daun membusuk jua

ia sendirian
lagi:
diliputi sepi yang berdentam-dentam,
dinaungi dingin yang menusuk tulang

pada jalan yang mulai terasa semakin sepi
ketika kaki melunglai di penghabisan bekal
aku menemukannya kembali: tanahku
masih dengan kekeringannya
—kehampaannya
kesendiriannya
kesepiannya—
menatap rindu padang bulan

nasib mengantarku memijaknya lagi
ini kali tak’kan kubiarkannya sendiri

“Tak perlu alasan mengapa kumemilih ‘tuk tinggal di bumimu:
Tanahku, tempat segalaku—kenangan itu—
bermula.”

Selasa, 09 November 2010

Jati

ini jati yang masih muda,
tumbuh kemarin di antara gersang dan kering menyapa

akar-akarnya menjangkau-jangkau genangan air hingga ke bibir jurang
padang garang...

suatu waktu ketika hanya ada terik di buaian masa
menanggal daun demi bertahan lebih lama,
begitu percaya ada masa di mana hujan mengembalikannya,
hijaunya...

ini jati yang tak kan ke mana...
bertahun lama, mengeras batangnya
menguat akarnya