Ini ruang ekspresi, wahana berbagi...
Ini gejolak yang terjadi dalam diri,
Ini dia tanda eksistensi diri,
Hehe...
Mari menengok Nurhandayani!!!
Ini buku tulisku, ini diary-ku...

Selasa, 29 Juni 2010

Jangan Marah Lagi, Sayangku

Sudah, jangan marah lagi padaku
tak perlu berlalu dan membanting pintu
tak perlu bibir seksimu mengerucut seperti itu
tambah tak manis rupamu ketika kaulipat wajahmu.

Sudah, jangan marah lagi ya, sayangku...
mau sampai kapan kaudiamkan aku?
sampai-sampai kau tak sudi lagi kucium dan kupeluk dengan rindu.

Haruskah kau sebegitu marahnya hingga tak mau lagi kugelitiki atau kusentuh sedikit saja? Mengapa mesti membuang muka tiap kita bersua?

Aku tahu kau sangat menyukainya,
menikmatinya berlama-lama hingga terlupa segala yang lebih indah di luar sana,
mencumbuinya, terlena...
Ah, sayangku, bila kauturutinya, tersia saja sesuatu yang jauh lebih menyenangkan—yang menantimu—di luar sana...

Aku tahu kau menikmati saat-saat jantungmu berpacu dalam deru dan seru adegan-adegan yang menguji nyali itu,
aku tahu kau menikmati saat-saat menertawakan orang lain yang terluka atau ‘terbodohi’ dalam cerita itu,
aku bisa melihat kau dan kawan-kawanmu ikut menikmati babak-babak manisnya balas dendam dalam kisah itu...

Sayangku, aku tak menyukainya.
Kali ini aku tak menyukai apa yang kausukai itu.
Aku tak peduli meski kaubilang ia seru
aku tak mau dengar alasanmu walau kau berkeras yakinkan aku bahwa ia tak buruk-buruk amat buatmu
aku tak menerima kau memilihnya dan mementahkan kata-kataku
aku marah kalau kulihat kau berasyik-masyuk dengannya
aku cemburu bila kau nafikan aku hanya demi hasratmu yang ingin bersamanya meski cuma satu-dua jam...
Terlebih, sesuatu yang kucemburui adalah dia yang tak baik untuk kaunikmati...

Maaf, kukacaukan acara nonton barengmu bersama kawan-kawanmu siang tadi.
Aku tak suka film yang kau pilih untuk kau nikmati bersama kawan-kawanmu.
Masa bodoh dengan seram, seru, perang-perangan, tembak-tembakan, berantem-beranteman, kerennya pria bertato dalam film itu, atau perempuan-perempuan seusiaku yang terlihat asyik-asyik saja mengenakan rok ketat di atas lutut dan baju atasan dengan bahu terbuka di tengah keramaian...

Tidak, sayangku...
Aku tak mau dia—film-film yang kau suka itu—meracunimu, membentukmu menjadi “monster kecil” yang senang berantem-beranteman dengan kawan-kawanmu seusai menyaksikan film-film itu.
Lihatlah, di usiamu kini kau bahkan sudah mengenal kata “seksi”!
Kau juga mulai ketakutan bila pergi tidur sendirian.
Kemarin-kemarin aku sempat melihatmu ‘bergulat’ dengan anak tetangga sebelah rumah hingga salah satu dari kalian menangis...

Aku tahu kau marah sekali padaku karena bukan kali ini saja kumatikan televisi begitu tiba-tiba di tengah-tengah keasyikanmu menyaksikan film berantem-beranteman atau film setan-setanan itu.

Sudah ya sayangku, jangan marah lagi padaku...
Daripada kaubunuh waktumu dengannya (film-film itu), pergilah bermain dengan kawan-kawanmu di luar sana. Permainan di luar sana jauh lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan.
Sungguh, mainan di luar sana jauh lebih menyenangkan daripada PlayStation yang mereka katakan asyik dan seru itu.

Kau bisa bermain bola, mobil-mobilan, kelereng, gobak sodor, petak umpet, main benteng, patok lele, atau mainan apa pun yang biasa kau mainkan bersama mereka...
bermain perang lumpur juga boleh
bermain dengan hujan pun boleh
mencari ikan citul atau ikan gepi di selokan pun kubolehkan meski ibumu akan memarahimu habis-habisan sesudahnya.
Jantungmu akan berpacu ketika kau berlari, ketika kau berkejaran bersama kawan-kawan sebayamu. Kau akan punya banyak kawan, merasakan indahnya dan serunya perkawanan, persahabatan, dan permainan itu sendiri...
Aku tak ‘kan kesal bila kau pulang dengan lutut berdarah atau kaki terluka...
Tenang saja. Aku bersedia 'kongkalikong' denganmu agar kau tak dimarahi ibu untuk ‘kesalahanmu’ yang satu itu.

Sayangku, aku tak ’kan melarangmu bila kau ingin bermain lompat tali, bermain congklak, bermain bola bekel, atau bermain masak-masakan dengan anak perempuan tetangga sebelah rumah kita itu...
Tak apa. Main saja. Memangnya kenapa kalau kau ingin bermain dengan anak perempuan? Kau kan bisa berperan sebagai pedagang yang berpura-pura menjual sayuran. Atau, kalau kau ingin main boneka-bonekaan dengan mereka (anak-anak perempuan itu), kau bisa berperan sebagi penjual bonekanya. Terserah kau saja, bermain saja sesukamu.

Dan kalau aku tak salah ingat, kau masih menyimpan wayang bergambar tokoh-tokoh kartun itu kan? Itu lho, wayang-wayangan yang gambarnya macam-macam. Kau membelinya dari pedagang mainan yang menjajakan jualannya di sekolahmu. wayang-wayangan itu ada yang bergambar Naruto, Dragon Ball, Avatar Aang, Ipin dan Upin, Spongebob Squarepants, macam-macamlah...
Aku tak pernah membuang mainan wayang-wayangan kepunyaanmu itu kalau kebetulan kutemukan terserak di lantai saat aku sedang menyapu (Kau selalu sembarangan meletakkan mainan-mainanmu). Nah, bermainlah dengan wayang-wayangan itu...

Sudah ya sayangku, jangan cemberut begitu.
Tak perlu berlalu dan membanting pintu,
tak perlu mengerucut bibir seksimu,
tak perlu kaudiamkan aku hingga tak mau lagi kupanggil ‘sayang’...

Baiklah, kalau kau memang suka menonton, besok kucarikan film yang bagus untukmu.
Hm, kau suka Spongebob Squarepants kan? Atau, bagaimana menurutmu kalau Ipin dan Upin? Oya, kau juga suka film Khrisna itu kan?

Nanti kalau sudah kubelikan filmnya, kau aturlah waktumu kapan saatnya bermain, belajar, dan menonton. Kalau kau tak bisa atur waktumu sendiri, jangan salahkan aku kalau kusela keasyikanmu—menonton film—lagi.
Pun aku tak ‘kan segan mematikan televisi—karena kau terlalu asyik menonton—bila tak kau acuhkan kawan yang ke rumah untuk mengajakmu ke surau...

Sayangku, jangan kau berpikir aku mencerewetimu karena aku tak sayang padamu. Kau tahu kan, aku tersangat menyayangimu,
adikku tersayang...

(28 Juni 2010, pukul 13-an)

Pintu Itu Lagi

Selimut kabut jatuh di hatinya yang ragu-ragu. membayang segala yang tertangkap kalbu. semakin memburam labirin yang disusurinya.

kawannya hanya tarian lidah api yang disulap dari ketiadaan yang pelan mengendap. ia merasai nyalanya yang mengerjap-ngerjap, mengerlip seakan padam bersiap. "Jangan, jangan meninggalkanku dalam gelap..."

meski begitu ia tetap meraba dalam harap dan cemas--dalam gelap mendekap. terus mendaki sampai membentang di mukanya dua jalan setapak menuju pintu-pintu yang menunggu. akhirnyakah(?): putusnya pada jalan yang dikenalnya, yang pernah dilaluinya. masih: dengan cemas dan harap.

Sabtu, 26 Juni 2010

Tak Apa, Nanti Kering Sendiri

Sehelai seprai mengurai
ditarik dari ranjang usang
demi menyeka matanya yang menelaga

sebab persinggungan semalam,
tersia-sia rida yang susah payah dipeliharanya
menderas lagi darahnya

lalu siang datang:
mengemas gemas gadis tujuh tahunan dengan daunan di genggaman,
rusa-rusa dalam kurungan,
dan kelakar kawan dari bingkai lama yang hampir dibuang.
terbit sukanya...
terlupa pada seprai semalam
yang belum kering dari air matanya,
dengarlah katanya: "Tak apa, nanti juga kering sendiri."

Jumat, 25 Juni 2010

Keridaan

Deralah, sakiti...
bentuk semaumu seperti pandai besi:
tempa, bakar,
tenggelamkan pada bara hingga melunak
agar menajam pada mata
agar bermakna sesudahnya

karena aku tak ingin sekadar jadi besi
...
adalah berakhir dalam pelukan keridaan
tujuan luka itu

Kamis, 24 Juni 2010

Diamlah dan Nikmati

Keresak daun terinjak
keretak dahan terpatah
tak pernah tergesa dan memaksa
ceritakan luka.
cukup keresak dan keretak.

mengapa mesti tertatih
sibuk sendiri, menyesal, mengesal pada luka sendiri
"Diamlah dan nikmati.
barangkali kautemu makna di belakang nanti."

Senin, 21 Juni 2010

Bila Kata Mau Berkata-Kata

seperti ikan menari lincah dalam liuknya yang tak terbatas
dan elang menukik tajam adang angin dan halau awan
seperti resek celoteh anak ayam meski sang induk di sisinya selalu...

meliuk, menukik, berceloteh...
dalam bebas, lepas
takterbatas, takterkekang, takterbendung

seperti juga kau dan dia
lihatlah bagaimana kau dan dia menari, menangis, tertawa, berpelukan
dalam kata yang tiada habisnya

mengapa aku tidak?
mengapa kauminta aku diam sementara aku begitu suka
--dan sering merasa lebih baik sesudahnya--
berkata-kata dalam kata yang tak terkatakan
seperti kanak-kanak yang baru nemu kata

barangkali kau sungguhan melihatku seperti sesosok kanak-kanak
yang tak tahu kapan kata tak harus dikatakan
kapan kata tak bisa dibuang sembarangan
ditaruh sesukaku
diletakkan semauku
dirangkai seindah kumau rangkai dia

jangan bungkam kata demi alasan apa pun...
mengapa tak lepaskan--bebaskan--saja dia
kata dan segala yang mau dikatakannya

jangan ancam kata yang mau berkata-kata
nanti tak mau lagi dia berkata-kata...

Senin, 14 Juni 2010

Bagaimana Menulis yang Tidak Emosional?

Aku tidak tahu kalau menulis pun bahkan memerlukan kehati-hatian untuk tak membiarkan emosi seseorang--yang menulis--meluap-luap.
Selama ini aku menulis tanpa pernah memperhatikan hal itu. Aku menulis karena aku ingin menulis dan ingin merasa lebih baik secara psikologis (setelah menulis). Justru aku ingin meluapkan emosiku di situ, di tulisanku itu...

Tapi beberapa malam lalu aku diingatkan bahwa tulisan yang baik itu adalah tulisan yang emosinya terkendali.
Aku jadi teringat seorang wartawan senior di tempatku magang juga pernah menyinggung masalah itu, tentang penulis yang emosional saat menulis...
Saat itu aku hanya pura-pura mengerti dengan penjelasannya, padahal aku buta sama sekali tentang itu, hahaha

Inilah jeleknya aku, kadang-kadang tak mau terlihat bodoh di depan orang lain, tak mau mengakui kekurangan dan keterbatasan ilmu. Padahal, kalau saja aku mau sedikit jujur dan mengakui bahwa aku tidak mengerti akan sesuatu hal itu, mungkin aku akan beruntung mendapat penjelasan dan pemahaman yang banyak tentang yang tak kutahu itu.

Hm, Hasan Aspahani juga bilang begitu, bahwa menulis--dalam hal ini ia membahas puisi--membutuhkan kesabaran, menahan emosi agar puisi yang akan ditulis tak terkesan emosional. Kata dia, penulis perlu 'menjaga jarak' dengan puisinya. Kata-kata yang dituliskan begitu seseorang merasakan sesuatu (emosi) adalah kata-kata yang kasar. Ia (kata-kata itu) memang spontan, namun ia begitu emosional pula...
Maka dibutuhkan 'jarak' antara penyair dan puisinya agar diksi puisi si penyair tidak mengandung emosi. Menurutnya, puisi yang ditulis setelah peristiwa--yang 'menyulut' lahirnya puisi itu--berlalu, diksinya akan lebih terkendali, lebih indah gitu...
Benar begitu, Pak Hasan?

Tapi aku masih saja belum mengerti dengan penjelasannya, juga dengan penjelasan kawanku malam itu dan wartawan senior itu.

Nah, aku jadi bingung. Kadang aku berpikir, semakin baik penulis membikin pembacanya mampu merasai emosinya (emosi si penulis) melalui tulisannya, maka semakin ia bisa dikatakan sebagai penulis yang sukses. Ya, sukses mempermainkan emosi pembacanya maksudku...

Hm, yang benar bagaimana ya, kawan?
Seperti apa menulis yang tidak emosional itu?
Aku tidak tahu bagaimana membedakan tulisan yang emosional dan yang tidak emosional.
Bagaimana? Ada yang bisa membantuku kawan-kawan?

Sabtu, 12 Juni 2010

Milad, Shah Rukh Khan, dan Muhasabah

Hm, jatah hidupku berkurang satu tahun lagi hari ini…
Ucapan selamat ulang tahun dan kado pertama –dan satu-satunya kukira, hahahaha—datang dari adik perempuanku. Dia menghadiahiku DVD film India berjudul My Name is Khan yang dibintangi Shahrukh Khan dan Kajol, aktor dan artis asal India favoritku, hehehe...

Memang bukan DVD orisinal yang dihadiahinya. Tapi aku senang karena dia ingat untuk saling memberi dengan sesama saudara, juga senang karena kutahu dia menyayangiku—meski kami sering bertengkar meributkan giliran membereskan rumah untuk membantu ibu (padahal kami sama saja malasnya, hahaha)...
Aku menghargainya pula karena kutahu ia hanya seorang pelajar yang jarang punya uang saku lebih—ditambah ia seorang yang boros—sehingga tak memungkinkannya untuk membeli kado yang “mahal” atau lebih bagus dari DVD itu.

Tak apa, tak masalah. Terima kasih, adikku...

Tak ada ucapan selamat ulang tahun maupun acara tiup lilin dari kerabat dekat (tentunya selain adikku).
Apakah itu membuatku sedih?
Tidak.
Lagipula, siapa yang suka diselamati atas “peringatan berkurangnya jatah hidup di dunia”?
Pun aku takut terlena dengan kebahagiaan karena kawan-kawan yang mengucapkan “selamat” tersebut lantas aku kehilangan sesuatu yang lebih penting dari semua itu: muhasabah (instropeksi diri).
Bukankah itu yang selama ini—yang kebanyakan—terjadi pada orang-orang yang berulang tahun?
Mereka (yang berulang tahun) tenggelam dalam kebahagiaan dengan pesta ini-itu dan melupakan sesuatu yang lebih penting dari itu, yang kukatakan tadi: muhasabah.

Apa saja yang sudah kulakukan selama 24 tahun terakhir ini??
Apakah sudah benar hidup yang kujalani selama 24 tahun ini?

Semestinya, dengan bertambahnya usia, bertambah pula kematangan, kedewasaan, ilmu…
Tapi sayangnya usia tak berbanding lurus dengan semua itu (kematangan, kedewasaan, ilmu). Menurutku ketiganya bukanlah suatu keniscahayaan yang diberikan Tuhan dengan serta merta sebagai suatu kesatuan paket dengan usia tadi…
Ilmu itu sesuatu yang didapat karena diusahakan. Lantas dengan berbekal ilmu itu seseorang mengembangkan dirinya, berproses…
Kematangan dan kedewasaan pun tumbuh selama manusia belajar—benar-benar belajar.

Aku sudah belajar apa saja ya selama setahun terakhir ini?
Sudahkah bertambah ilmu, kematangan, dan kedewasaanku?

Pikiranku melayang pada apa yang baru terjadi padaku baru-baru ini, tentang kegagalanku membangun sebuah hubungan dengan seseorang…
Mungkin bagi sebagian orang hal itu terasa tak penting dan menganggapnya terlalu berlebihan bila masalah itu dipikirkan terlalu dalam. Tapi buatku itu penting. Aku memikirkannya dan aku belajar darinya.

Aku punya banyak “pekerjaan rumah” kalau begitu.
Mengalahkan kemalasan, ketakutan, dan kecemasan sendiri beberapa di antaranya.

Semoga semakin pandai aku mensyukuri nikmat-Nya,
semoga Dia memberi kemudahan bagiku dalam mencari ilmu (belajar),
semoga hati ini diikhlaskan untuk menerima segala karunia-Nya—yang kutahu itu--yang terbaik untukku...
Amin

Aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku, impian-impianku, yang pernah kubuat dalam sebuah daftar, daftar mimpi...

Jumat, 11 Juni 2010

“Diary” Kumal, Mimpi, dan Negeri India...

Aku membuka-buka lagi “buku diary” lamaku yang sudah luar biasa kumal dan berdebu.
Sebenarnya ia tak layak dikatakan buku diary karena “diary” lamaku itu hanya sekumpulan kertas bekas fotokopi makalah kuliahku—kira-kira setahun lalu—yang kumanfaatkan sisi belakangnya (kertas) yang masih kosong sehingga bisa kutulisi. Kumpulan kertas fotokopi makalah itu kujadikan satu, lalu kujepit dengan penjepit kertas. Maka jadilah ia “diary” yang siap kutulisi dengan apa pun, kapan pun, di manapun, sesering kumau...
Kadang-kadang aku bisa menulisi “diary” itu hingga lebih dari tiga kali dalam sehari. Tak heran, diaryku cepat habis, hehehehe

Abis? makanan kaleee...


Tau gak cay, pas gw liat-liat lagi fotokopian itu, rupanya itu bahan (materi) kuliah gw dulu. Busyet, ini materi kuliah udah jadi coret-coretan begini...
Isi materinya aja gw udah lupa. Hahay!

Gila ente, Nuy! Kreatif juga ente: mendaur ulang makalah buat bikin diary.
Kreatif tapi bego! Itu kan bahan kuliah. Kenapa gak cari kertas yang laen aja sih?


Yah, maklumlah. Jangankan untuk membeli diary, untuk membeli buku kuliah saja aku mesti pikir-pikir dulu saat itu. Bukan karena tak mau keluarkan uang alias pelit, tapi karena aku memang tak ada uang. Dan keadaan tak memegang uang lebih—untuk membeli buku kuliah—waktu itu terlampau sering. Hahahaaha…

Ehem, kubaca-baca diary-ku lembar demi lembar. Hohoho, rupanya saat itu aku sedang tertarik dengan lawan jenis dan aku tak berani mengungkapkan rasa ketertarikanku itu padanya. Maka aku tersiksa sendiri. Dan demi mengurangi perasaan tertekan karena menahan perasaan sendiri, kulampiaskan rasa sukaku pada cowok itu dengan mengadu pada “diary” dan menulis puisi...

Aku senyum-senyum sendiri membaca “diary” itu.
Walah, perasaanku dulu begitu meledak-ledak rupanya. Agak menjijikan juga membaca diary sendiri. Betapa tidak, aku berpikir—saat membaca “diary”-ku—berlebihan sekali apa yang kutuliskan di sana saat itu.

Hahaha, gw cuma ketawa aja ngebaca tulisan gw sendiri. Sumpah dah, lebay abizzzz
Gila, cay. Bisa juga gw melahirkan diksi-diksi puitis nan romantis kayak begono, qeqeqeqeqeq


Puisi-puisiku bertebaran hampir di setiap halaman.
Wah, rupanya lumayan produktif juga aku saat itu. Ternyata momen seperti itu—saat tumbuh rasa ketertarikan dengan lawan jenis—membuatku produktif dalam menulis.

Tapi bukan itu—tentang bagaimana aku tertarik pada seseorang—yang mau kuceritakan di sini. ‘Fase itu’ sudah terlewat seiring berjalannya waktu.
Di antara cerita-ceritaku tentang perasaanku terhadap someone itu, ada cerita yang berbeda sendiri di diary “edisi fotokopian”-ku itu. Kukatakan (ia) lain sendiri karena aku tak bicara tentang seseorang—yang sedang kusuka saat itu—di diary-ku tersebut.

Ada beberapa mimpi yang sempat kuabadikan di sana...
mimpi yang agak konyol bagi sebagian orang, namun tidak demikian bagiku.
Aku menuliskan mimpi ini ketika aku baru menyelesaikan (membaca) novel Taj Mahal karya John Shors.
Mimpi itu kutulis tahun lalu, tepatnya pada 11 Januari 2009...

(11 Januari 2009 pukul 12.58...)
Aku ingin jadi seorang penulis. Aku yakin suatu saat nanti aku akan jadi seorang penulis. Aku akan jadi penulis yang terkenal. Aku akan sehebat—bahkan lebih hebat—dari Hernowo, Gede Prama, Andrea Hirata, J.K. Rowling, siapa pun penulis itu...

Suatu saat nanti aku akan terbang ke India.
Suatu saat nanti kakiku akan menjejak Benteng Merah.
Suatu waktu nanti tanganku a kan meraba dinding pualam Taj Mahal dengan takjub.
Aku berlayar di atas sampan kecil di atas sungai Yamuna.

Aku tak berhenti bersyukur, terus mengagumi ciptaan-Nya dan terharu berkali-kali karena Ia menjelma nyatakan mimpi-mimpiku.

Aku tak hanya mengunjungi Benteng Merah, Taj Mahal, dan Sungai Yamuna, tetapi aku juga akan mengunjungi seluruh tanah India yang ditumbuhi binga-bunga cantik...
pegunungan hijau...
danau yang biru...

Aku akan mempelajari seni tari dan nyanyi…
Aku mengenakan sari...
Aku merayakan hari Holly...
Menyanyi, menari…
Menyaksikan pernikahan adat India…
Bertemu seorang muslim di sana…
Kekasihku!

Hahaha, lihatlah betapa gilanya aku waktu itu. Aku begitu terobsesi pada negara India. Aku suka sekali dengan tempat-tempat indah di sana—yang sering kulihat di televisi—serta kesenian tari dan nyayinya.
Aku suka bagaimana penduduk di sana mengungkapkan kebahagiaan mereka atau merayakan sesuatu dengan menyanyi dan menari. Ditambah John Shors yang begitu apik mendeskripsikan negara itu dalam novelnya, aku tambah tergila-gila pada India. Namun, sekali lagi, hanya pada sisi-sisi tertentu saja aku menyukainya, seperti yang kusebutkan tadi: tempat-tempatnya yang indah serta kesenian tari dan nyayinya.

Kemudian, beberapa bulan lalu, tepatnya pada 31 Januari 2010, aku dan kawan-kawan jurusan di kampus mengadakan studi banding ke Bali. Kami mengunjungi pertunjukan kesenian Barong di Desa Batu Bulan. Di antara penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut , ada sepasang turis yang kuduga berasal dari India.

Aku jelas sangat mengenali ciri-ciri yang begitu khas dari keduanya, yang semakin meyakinkanku bahwa mereka berasal dari India. Kulit gelap mereka, lantas sang wanita yang mengenakan semacam tanda di keningnya (sindhur) yang mencirikan bahwa ia wanita India...

Baru kali ini kulihat wujud warga India senyata-nyatanya! Selama ini kan aku baru melihat mereka di televisi.
Aku senang, ya gemes juga, geregetan pula. Ah, begitulah pokoknya, sulit diungkapkan dengan kata.

Lantas kuminta seorang kawan untuk mengambil gambarku dan kedua turis asal India itu. Maka dengan malu, ragu-ragu, dan bahasa Inggris yang kacau aku meminta kesediaan mereka untuk berfoto denganku.

Ceklik!
Jepretan kamera digital kawanku mengambil gambar kami dua kali.

Iiiiiiiiiih, senengnya aku kala itu…
hehehehe

Aku terus mengenang saat-saat menggembirakan waktu itu hingga kini.
Ah, mimpi yang kutulis pada diary-ku setahun lalu terasa begitu dekat denganku. Rasa-rasanya India itu begitu dekat. Mimpi itu semakin menguat dan aku semakin ingin mewujudkannya…

Aku memang sangat ingin menjadi penulis dan begitu ingin ke India. Yang tertulis dalam “diary”-ku saat itu adalah perasaanku sesungguhnya kala itu dan aku tetap menjaga dan mempertahankan mimpi itu hingga kini (mudah-mudahan mimpi itu bisa kuraih suatu saat nanti, amin…)

Sementara itu, tentang yang tertulis pada “diary” itu di bagian akhirnya, tentang seseorang muslim yang ingin kujumpai di sana—yang adalah kekasihku—tentu aku tak sungguhan. Kini aku sungguh menyerahkan takdir “yang satu itu” pada Tuhan.
Bukan karena terluka berkali-kali lantas aku menyerah pada takdir sendiri. Melainkan karena mulai sekarang kupercayakan masalah “yang satu itu” pada-Nya. Kuserahkan semua pada-Nya kini. Tak mau lagi kubikin kriteria-kriteria aneh dan tak masuk akal untuk calon pendampingku nanti, lantas “memesan-nya” –pendamping yang sesuai dengan kriteriaku itu—pada Tuhan.

Calon pendamping?
Uhuy, ente udah gak sabar pingin berkeluarga ya, Nuy??? Hahaha…
Masih kecil! Sekolah dulu yang bener! Kuliah aja gak kelar-kelar, udah mau berkeluarga… Capek deh.

Yeee, siapa juga yang mau berkeluarga sekarang? Ya gak ada salahnya kan cay kalo gw udah mulai mikirin “itu”. Emak gw nih yang udah ketar-ketir dengan “pilihan” gw nanti…

Yowis, semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik buat ente, Nuy…
Amin…

Kamis, 03 Juni 2010

Boleh Berbahasa Gaul asal...

Bahasa memiliki sifat yang dinamis. Ia terus berkembang mengikuti zaman, menyesuaikan kebutuhan pengguna bahasa itu sendiri. Maka, lahirlah istilah bahasa prokem dan—yang paling baru—bahasa “alay” alias bahasa “anak lebay”. Keduanya termasuk dalam bahasa slang, yakni bahasa pergaulan yang ngetren di kalangan anak muda.

Jenis bahasa prokem sudah kita kenal sebelumnya, yakni kira-kira pada 1970-an.Teguh Esha dalam novelnya yang berjudul Ali Topan Anak Jalanan pertama kali mengenalkan istilah bahasa prokem ini. Bahasa prokem ini sendiri mulanya untuk menyebut istilah bahasa preman. Beberapa istilah dalam bahasa prokem yang masih dipertahankan hingga saat ini di antaranya “bokap” (bapak), “nyokap” (ibu), “doku” (duit/uang), “doi” (dia), dan “culun” (lugu).

Sementara itu, bahasa “alay” mulai berkembang di masyarakat sejak kemunculan internet dan telepon seluler, yakni mulai tahun 2000-an, ketika anak-anak muda mulai gemar mengobrol (chatting) di dunia maya (internet). Gaya bahasa “alay” misalnya pada penggunakan kata seperti “akuwh”, “akyu”, “aq” (aku); “cowwy”, “sowry” (sorry/maaf), dan sebagainya.

Sebenarnya kehadiran bahasa slang tak pernah menjadi soal bagi bahasa Indonesia. Mengingat sifat bahasa yang dinamis itu tadi, ragam bahasa slang tersebut berterima untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Namun, bahasa slang mulai terasa “mengancam” bahasa Indonesia begitu kehadirannya (bahasa slang) terlalu menarik perhatian masyarakat sehingga membuat mayarakat lebih menyenangi penggunaan bahasa slang ketimbang ragam bahasa Indonesia yang formal (baku).

Ragam bahasa Indonesia yang formal dianggap kaku dan tidak laku. Begitu menurut budayawan Remy Silado. Hal itu yang menyebabkan anak-anak muda tidak begitu menyenangi bahasa Indonesia yang baku. Karena itu pula anak-anak muda—yang menyenangi sesuatu yang dinamis dan inovatif—itu mencari hal-hal baru, salah satunya menggunakan bahasa slang tersebut.

Tak jarang penulis menemukan bahasa Indonesia disepelekan oleh sebagian besar orang. Mahasiswa yang berkuliah di Jurusan Bahasa Indonesia sering mendapat “perlakuan tak menyenangkan” dari sebagian besar orang tersebut lantaran keputusannya (mahasiswa) berkuliah di jurusan itu dinilai tidak tepat. Mereka—sebagian besar orang yang menyepelekan bahasa Indonesia itu—menganggap bahasa Indonesia bukanlah sebuah bidang keilmuan yang perlu ditekuni dengan serius karena bahasa (bahasa Indonesia) itu adalah bahasa yang kita pergunakan sehari-hari. Menurut mereka, kecil kemungkinan kita melakukan kesalahan berbahasa Indonesia karena bahasa itu kita pergunakan sehari-hari.

Penyepelean terhadap ragam bahasa Indonesia yang baku tersebut kemudian menjadi bumerang bagi anak-anak muda sendiri. Kementerian Pendidikan Nasional melansir, sekitar 14 ribu dari 26 ribu siswa yang tak lulus ujian nasional terjanggal di pelajaran bahasa Indonesia. (Koran Tempo, edisi nomor 3177 tahun X). Artinya, lebih dari 50 persen siswa tak lulus ujian nasional gara-gara bahasa Indonesia.

Fenomena ini semestinya menjadi pukulan telak bagi kita semua. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa negara kita, bahasa persatuan kita, malah menjadi ‘batu sandungan’ bagi masyarakatnya sendiri. Ini sebagai bukti bahwa bahasa Indonesia tidak bisa disepelekan begitu saja. Semestinyalah kita menjunjung bahasa persatuan kita. Apabila kita menengok bagaimana perjuangan para pemuda pada 28 Oktober 1928 lalu yang berjuang mati-matian untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda, malu rasanya menyepelekan bahasa Indonesia.

Terkait dengan kehadiran bahasa slang yang disinggung di muka, menurut hemat penulis, penggunaan bahasa slang itu tak menjadi soal sejauh kita tak melupakan ragam bahasa Indonesia yang baku. Jadi, utamanya, kuasai juga ragam baku bahasa Indonesia. Di sinilah pentingnya nasionalisme dalam berbahasa Indonesia. Buat apa pandai bersilat lidah dalam bahasa gaul—demi dibilang “keren”—tapi bahasa Indonesianya kacau?

Masalah bahasa ini adalah masalah ranah. Semua ada tempatnya. Kita tidak bisa menafikan ragam formal (ragam baku) yang ada di lingkungan kita. Tak mungkin kan buku-buku teks yang ditulis dalam bahasa Indonesia disampaikan dengan bahasa gaul. Atau, apa jadinya kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato kenegaraannya dalam bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa prokem misalnya. Nah, lho.